Kebijakan Anies Melonggarkan PSBB Dinilai Pengamat Abaikan Faktor Kesehatan Publik
Kegiatan CFD setelah ditutup karena pandemi COVID-19 (Diah Ayu Wardani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mengatakan, keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membuka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi PSBB Transisi tidaklah tepat. Apalagi, pembukaan PSBB itu dilakukan saat kasus positif harian di DKI Jakarta semakin meningkat.

"(Pembukaan PSBB, red) itu sebenarnya merupakan langkah kebijakan yang tidak tepat ya, keliru karena di tengah (pelaksanaan, red) banyak muncul klaster baru dari penularan COVID itu sendiri," kata Trubus saat dihubungi VOI, Rabu, 29 Juli.

Pembukaan PSBB ini, sambung dia, juga mengindikasikan Pemprov DKI Jakarta telah mengabaikan persoalan kesehatan masyarakat.

"Secara tidak langsung (pemerintah, red) sudah mengabaikan persoalan public health dan jadinya lebih ke ekonomi," tegas dia.

Terkait akan berakhirnya masa PSBB transisi pada Kamis, 30 Juli, Trubus menilai, Pemprov DKI Jakarta harus melakukan perpanjangan, bukan malah memberikan kelonggaran atau malah mencabut status tersebut.

Apalagi, jumlah kasus harian masih terus bertambah dan Jakarta selalu masuk dalam posisi lima besar penyumbang kasus terbanyak tiap harinya. "Mau enggak mau, PSBB ini kan habis ya besok. Mau enggak mau, PSBB transisi ini harus dijalankan lagi," ungkapnya.

Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan pihaknya membuka peluang pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Hal itu karena perkembangan kasus COVID-19 di DKI Jakarta dalam beberapa hari terakhir terus meningkat. 

Riza bilang, saat ini Pemprov DKI sedang mengkaji situasi perkembangan COVID-19 di masa PSBB transisi yang akan berakhir pada 30 Juli. Indikatornya adalah angka reproduksi kasus, positivity rate, dan kapasitas tempat tidur khusus perawatan COVID-19.

Selain itu, jelang berakhirnya masa PSBB transisi penambahan kasus COVID-19 dari klaster perkantoran di Jakarta semakin bertambah.

Berdasarkan laporan  anggota Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah menyebut, klaster COVID-19 pada lingkup perkantoran di DKI Jakarta bertambah menjadi 90 klaster. Dari klaster ini, ada 459 pegawai yang terkonfirmasi kasus COVID-19.

"Kalau kita lihat, angkanya bertambah 10 kali lipat. Selama masa PSBB awal, di mana hampir semua pegawai bekerja di rumah memang hanya ada 43. Tapi, ternyata saat PSBB transisi ini bertambah 416 menjadi 459," ungkap Dewi dalam diskusi di Graha BNPB, Jakarta Timur, Rabu, 29 Juli.

Rinciannya, ada 20 klaster yang memiliki 139 kasus di sejumlah kementerian, 10 klaster yang memiliki 25 kasus di badan atau lembaga, 34 klaster yang memiliki 141 kasus di  kantor di lingkungan Pemda DKI.

Selanjutnya, ada 1 klaster yang memiliki 4 kasus di kantor kepolisian, 8 klaster yang memiliki 35 kasus di BUMN, dan 14 klaster yang memiliki 92 kasus di kantor swasta. 

Meski begitu, Dewi tidak menyebut kantor mana saja yang menjadi klaster penyebaran COVID-19. "Ini bukan cerita kantornya siapa, punya pemerintah atau bukan, bukan itu sebetulnya. Di mana saja bisa kejadian. Sebab, ketika sudah mulai beraktivitas, pasti risikonya lebih tinggi," ujarnya.