Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah kembali menurunkan harga tes PCR untuk meringankan beban masyarakat yang hendak bepergian dan menghidupkan sektor perekonomian.

Sebelumnya, tarif tes PCR yang dipatok sekitar Rp495-550 ribu, kini ditetapkan menjadi Rp275 ribu di Pulau Jawa dan Bali serta Rp300 ribu di luar Jawa-Bali.

Namun, lagi-lagi pemerintah diminta mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang baru mulai merangkak bangkit usai berbagai pembatasan sosial untuk menekan penyebaran COVID-19. P

asalnya, tes PCR sebagai syarat perjalanan dinilai sebagai sebuah kebijakan yang memberatkan rakyat.

"Meskipun diturunkan harganya, kebijakan tes PCR sebagai syarat perjalanan menyulitkan dan memberatkan rakyat," ujar Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati kepada wartawan, Jumat, 29 Oktober. 

"PKS konsen dalam masalah keluarga, adanya beban tes PCR sebagai syarat perjalanan pasti menambah beban biaya belanja keluarga," sambungnya.

Lebih lanjut, Mufida mengatakan, tes PCR sebagai syarat perjalanan juga memiliki beberapa catatan. Sebab, kata dia, tidak semua daerah memiliki infrastruktur yang cepat dalam memproses hasil PCR. Padahal, kebutuhan dalam perjalanan adalah kecepatan dalam proses.

"PCR memerlukan waktu lebih lama untuk mengetahui hasilnya. Padahal sampling droplet yang dites berlaku pada saat di tes. Sehingga saat bepergian setelah dua hari berikutnya misalnya, apakah hasil tesnya masih akurat?," Jelas Mufida.

Menurutnya, penambahan beban ini akan berdampak bagi mereka yang bepergian lebih dari 3 hari. Pasalnya, saat ini hasil tes PCR berlaku selama 3x24 jam.

"Berapapun harganya meski sudah diturunkan Rp 275 ribu, jika perginya lebih dari 3 hari, maka harus dua kali PCR untuk pulang pergi, sehingga semakin menambah beban masyarakat," tegasnya.

Karena itu, Mufida menekankan agar agresivitas vaksinasi lebih serius dilakukan guna meminimalisir dampak berat dari penularan COVID-19.

"Vaksin sudah dijadikan sebagai syarat dalam mengakses fasilitas publik. Kini ditambah syarat PCR untuk perjalanan. Kebijakan ini harus ditinjau ulang," demikian Mufida.