JAKARTA - Pemerintah sudah beberapa kali menurunkan harga tes PCR COVID-19 dari yang mulanya jutaan kini tinggal Rp275 ribu untuk wilayah Jawa-Bali dan Rp300 ribu untuk luar Jawa-Bali. Meski begitu, banyak pihak masih belum puas dengan harga tersebut.
Bio Farma bersama Holding BUMN Farmasi menyadari, harga tersebut masih ada celah untuk diturunkan. Jumlah penurunannya berapa, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengaku sedang melakukan simulasinya.
"Berapa persen penurunannya yang kami belum ketahui, tapi kami masih berusaha untuk melakukan simulasi lagi tersebut," ujar Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Selasa, 10 November.
Dia mencontohkan, biaya tes PCR Bio Saliva dengan cara berkumur, bisa diturunkan harganya, dengan cara menurunkan biaya APD karena dalam pelaksanaan tes ini tenaga kesehatan tak butuh APD. Selain itu, tes PCR Bio Saliva bisa dilakukan secara massal, sehingga bisa memperkirakan secara tepat volume produksi untuk Bio Saliva.
Terpisah, Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule menilai, harga tes PCR Rp275 ribu masih terbilang tinggi. Terlebih, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebut harga PCR di India berada di kisaran Rp 96 ribu.
Dia lantas menyinggung harga tes PCR pada awal pandemi yang hingga jutaan rupiah. Artinya, kata dia, keuntungan dari tes PCR sangat banyak. Bahkan sesudah diturunkan menjadi Rp275 ribu pun masih 3 kali lebih mahal.
"Di India hanya Rp 96 ribu? Pedagang tes PCR untung banyak dong,” ujar Iwan kepada wartawan, Kamis, 28 Oktober.
Iwan menilai, tingginya tarif tes tersebut lantaran pedagang PCR ikut andil dalam mengatur kebijakan pemerintah. Sehingga, yang dipikirkan hanya bisnis agar mendapatkan keuntungan bukan untuk menyelamatkan rakyat.
“Padahal, penanggulangan COVID-19 dan keselamatan masyarakat merupakan tanggung jawab negara,” kata Iwan.
BACA JUGA:
"Seharusnya yang menanggung mahalnya harga bukan rakyat, tetapi pemerintah hadir di tengah masyarakat dengan kewenangan dan otoritasnya mengendalikan harga serta memastikan tidak ada penumpang gelap atau pihak-pihak yang sengaja mencari keuntungan di tengah bencana nasional pandemi COVID-19," kata Netty, Kamis, 28 Oktober.
Menurut politikus PKS itu, penurunan harga berkali-kali sampai Rp275 ribu dalam hitungan waktu berdekatan makin memantik asumsi publik ada motif ekonomi di balik itu. "Berapa sebenarnya unit cost tes PCR?" tanya anggota Komisi IX DPR RI ini.
"Penurunan harga berkali-kali tidak menyelesaikan masalah karena kebijakan tersebut kadung menyulut kegaduhan bahkan ada petisi yang ditandatangani lebih dari 40 ribu orang," kata Netty.
"Pemerintah tidak merencanakan ada subsidi karena memang kalau kita lihat harganya, apalagi sudah diturunkan itu sudah cukup murah," kata Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers yang diikuti dari YouTube Perekonomian RI di Jakarta, Selasa, 26 Oktober.
Budi mengatakan harga PCR di Indonesia yang semula dipatok Rp900 ribu per orang sudah 25 persen lebih rendah harganya bila dibandingkan dengan harga PCR di bandara lain di dunia.
"Jadi kalau misalnya diturunkan ke Rp300 ribu, itu mungkin masuk yang paling murah dibandingkan dengan harga PCR airport di dunia," katanya.
Ia mengatakan India masih menjadi negara dengan tarif PCR termurah di dunia selain China.
"Yang paling bawah memang India murah sekali Rp160 ribu. Tapi memang India membuatnya di dalam negeri kemudian ekonominya berkembang karena juga rakyatnya banyak itu bisa tercapai," katanya.
Tarif PCR yang ditentukan oleh Presiden Joko Widodo senilai Rp300 ribu, disebut Budi sudah yang paling murah dibanding harga tes PCR di seluruh dunia yang di bandara.