Industri China Tak Butuh Waktu Lama untuk Bangkit, Bagaimana Amerika Serikat?
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Meski masih dalam situasi pandemi COVID-19, sinyal kebangkitan ekonomi China mulai terasa. Setelah menolak resesi karena ekonominya tumbuh 3,2 persen di kuartal II 2020, kini perlahan industri di negeri Tirai Bambu tersebut mulai bangkit.

Dikutip dari Reuters, Selasa 28 Juli, perusahaan industri China mencatatkan keuntungan 11,5 persen secara year on year (yoy) menjadi 666,55 miliar yuan atau setara 95,27 miliar dolar AS. Ini menjadikan pertumbuhan dengan laju tercepat sejak Maret 2019.

Dari statistik tersebut, pada Mei 2020 terjadi pertumbuhan bulanan pertama sektor ini dari sisi pendapatan sejak November tahun lalu atau sebelum merebaknya COVID-19.

Setelah rekor penurunan di awal tahun ini, ekonomi China berhasil bangkit lebih dari yang diharapkan pada kuartal II 2020. Itu disebabkan berakhirnya periode lockdown, dan adanya kebijakan untuk meningkatkan stimulus.

Meski demikian, analis memperingatkan bahwa rebound yang dialami China sangat bergantung pada investasi yang dipimpin oleh pemerintah negara tersebut. Pasalnya, permintaan domestik dan global tetap lemah.

Pejabat biro statistic Zhu Hong mengatakan, industr baja, minyak dan gas, penyulingan minyak dan logam bukan besi, mengalami peningkatan laba yang signifikan pada bulan Juni dengan berkurangnya biaya produksi dan permintaan.

Namun ia memperingatkan tentang prospek ke depan karena permintaan pasar masih lemah di tengah dampak pandemi COVID-19. Situasi perdagangan internasional juga masih dalam masalah kompleks sehingga ketidakpastian tetap terjadi terhadap keberlanjutan laba.

Produsen utama bahan baku farmasi dan peralatan medis, termasuk Zhejiang Nhu dan Zhejiang Yueyue mengatakan, mereka mengharapkan laba yang lebih kuat untuk enam bulan pertama.

Pengukur mulai dari survei pabrik hingga harga produsen semuanya mencerminkan tanda-tanda kenaikan lebih lanjut dalam manufaktur. Namun analis mengatakan pabrik dapat memiliki waktu yang sulit mempertahankan momentum karena permintaan yang meningkat, pergulatan ekspor dan banjir besar mengganggu konstruksi dan kegiatan ekonomi lainnya di Delta Yangtze.

Sementara nasib berkebalikan dialami Amerika Serikat, di mana lebih dari 40 juta orang resmi berstatus pengangguran sejak Maret lalu. Lonjakan penularan COVID-19 di Negeri Paman Sam telah berdampak langsung terhadap guncangan perekonomian.

Dikutip dari CNBC, pemerintah AS pun kaabarnya bersiap untuk mengesahkan sejumlah aturan demi menggairahkan perekonomian domestik. Namun, tampaknya tingkat kerugian perekonomian di AS sudah terlampau parah, sehingga negara tersebut kembali dihantui gelombang PHK kedua.

Bahkan, The Goldman Sachs Group memprediksi ekonomi AS akan mengalami kontraksi lebih dalam dari perkiraan sebelumnya, yakni dari 4,2 persen menjadi 4,6 persen.

Prediksi ini didasari stimulus keuangan yang dianggap hanya bersifat perbaikan ekonomi jangka pendek. Pasalnya, nilai suntikan modal pemerintah dinilai terlalu kecil dalam mengatasi dampak krisis ekonomi dan permasalahan ketenagakerjaan.