Bagikan:

JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli Siregar. Wakil Ketua KPK itu dilaporkan oleh mantan penyidik Novel Baswedan dan Rizka Anungnata karena diduga melakukan komunikasi dengan salah satu kontestan Pilkada Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) 2020.

Novel Baswdan dan Rizka Anungnata melaporkan Lili ke Dewan Pengawas KPK melalui surat pada pekan lalu, Jumat, 22 Oktober. Dalam laporan itu, keduanya menyebut Lili telah berkomunikasi dengan Darno yang merupakan salah satu peserta Pilkada Labura.

"LPS sebagai terlapor selain terlibat dalam pengurusan perkara Tanjungbalai juga terlibat dalam beberapa perkara lainnya yaitu terkait dengan perkara Labuhanbatu Utara yang saat itu kami tangani selaku penyidik," kata Novel dalam surat tersebut.

Melalui komunikasi itu, Darno diduga meminta Lili mempercepat penahanan Bupati Labura Khairuddin Syah yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sebelum Pilkada 2020 dimulai. Saat itu, Khairuddin kembali maju sebagai calon petahana.

"Di mana fakta ini disampaikan oleh tersangka Khairuddin Syah kepada pelapor saat itu. Khairuddin juga menyampaikan pada pelapor bahwa dirinya memiliki bukti-bukti berupa foto pertemuan antara terlapor dengan saudara Darno," ujar Novel.

Lebih lanjut, ia mengatakan sidang etik Dewan Pengawas terkait dugaan pelanggaran etik itu sudah dilakukan. Sebagai pelapor, mereka juga sudah melengkapi bukti dan menyerahkannya kepada Sekretariat Dewas dan telah mendapat tanda terima per 12 Agustus lalu.

Hanya saja, dalam Putusan Dewas Nomor 5/Dewas/Etik/07/2021 pada 30 Agustus pelapor melihat tidak ada fakta pemeriksaan klarifikasi atau fakta persidangan etik perihal Lili dalam di perkara Labura. Sehingga, mereka sebagai pelapor menyampaikan pengaduan ini kepada Dewas Pengawas.

Menutup suratnya, Novel dan Rizka mengatakan mereka percaya Dewan Pengawas KPK bisa memproses laporan ini. Hanya saja, keyakinan keduanya berbanding terbalik karena Tumpak Hatorangan dkk memutuskan menindaklanjuti laporan tersebut.

Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris mengatakan pihaknya memang telah menerima laporan dari dua mantan penyidik yang telah didepak KPK per 30 September lalu karena gagal menjadi aparatur sipil negara itu. Hanya saja, dugaan pelanggaran itu tak ditindaklanjuti karena masih sumir atau belum jelas kebenarannya.

"Semua laporan pengaduan dugaan pelanggaran etik yang masih sumir tentu tidak akan ditindaklanjuti oleh Dewas," ungkap Syamsuddin.

Sumirnya laporan ini didasari karena tak ada penjelasan secara pasti pelanggaran etik apa yang dilakukan Lili. Para pelapor, sambung Haris, juga tidak menyertakan bukti berupa isi komunikasi itu secara terang sehingga Dewas KPK bisa menindaklanjutinya.

"Harus jelas apa fakta perbuatannya, kapan dilakukan, siapa saksinya, apa bukti-bukti awalnya," ungkapnya.

"Jika diadukan bahwa LPS berkomunikasi dengan kontestan Pilkada 2020 di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) ya harus jelas apa isi komunikasi yang diduga melanggar etik tersebut," imbuh Haris.

Keputusan Tumpak Hatorangan dkk tidak menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Lili ini mendapat sorotan dari peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Menurutnya, Dewan Pengawas KPK sudah seharusnya menindaklanjuti bahkan segera menggelar persidangan dan mengagendakan pemanggilan terhadap Lili.

"ICW memandang Dewan Pengawas harus menggelar persidangan dan mengagendakan pemanggilan terhadap Lili," tegas Kurnia dalam keterangan tertulisnya.

Menurutnya, jika pertemuan itu terbukti maka Lili bisa diberi sanksi berat karena telah melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 4 ayat (2) huruf b, Pasal 7 ayat (2) huruf b Peraturan Dewan Pengawas Nomor 02 Tahun 2020.

"ICW dan masyarakat tentu tidak berharap ketika nantinya perbuatan Lili terbukti melanggar kode etik, Dewan Pengawas hanya menjatuhkan sanksi berupa pemotongan gaji. Namun, hukuman yang pantas dijatuhkan terhadap Lili adalah sanksi berat dengan jenis hukuman rekomendasi agar ia mengundurkan sebagai Komisioner KPK," kata pegiat antikorupsi ini.

Sanksi tersebut, sambung Kurnia, dirasa perlu diberikan karena muruah komisi antirasuah saat ini sudah keropos dan runtuh akibat perbuatan pimpinannya. Penyebabnya, bukan hanya Lili saja yang pernah dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji tapi Ketua KPK Firli Bahuri juga pernah dinyatakan melanggar etik ringan setelah menaiki helikopter untuk keperluan pribadinya.

"Bagi ICW, KPK sudah keropos dan runtuh akibat perilaku dari komisionernya sendiri. Betapa tidak, jika LPS terbukti, sudah dua komisioner yang dua kali melanggar kode etik," ujar Kurnia.

"Atas dasar itu saja, sudah pantas jika kedua orang itu, baik Firli maupun Lili, segera hengkang dari KPK. Tidak hanya itu, seluruh Komisioner KPK juga diketahui melanggar HAM dan administrasi berdasarkan temuan Komnas HAM dan Ombudsman RI terkait penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)," pungkasnya.