Memperkuat Bukti, KPK Bidik Pihak Lain dalam Kasus Dugaan Suap Azis Syamsuddin
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin tersangka suap ditahan KPK (Foto: Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih membidik sejumlah pihak yang terlibat kasus Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin terkait dugaan suap penanganan perkara di Lampung Tengah. 

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan bahwa pihaknya masih mendalami kasus tersebut. Termasuk juga masih mencari bukti-bukti lain. 

"Untuk kita menetapkan seseorang sebagai tersangka, harus dilengkapi dulu untuk bukti-bukti," katanya di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu, 25 September. 

Firli menjelaskan penetapan tersangka tidak bisa sembarangan. Menurut Firli, lembaga antirasuah harus memiliki minimal dua alat bukti untuk menyeret pihak lain sebagai tersangka dalam kasus ini. 

Lebih lanjut, Firli menegaskan tidak akan pandang bulu menindak pihak lain yang bersekongkol dengan Azis Syamsuddin dalam kasus tersebut. 

"Nanti kalau seandainya ditemukan keterangan dan bukti-bukti, sehingga bisa membuat terang suatu perkara, dan kita menemukan tersangka lain ya kita jadikan tersangka juga," tuturnya. 

Sekadar informasi, Azis menjadi tersangka tunggal dalam kasus tersebut. Ia juga telah dibidik sejak Agustus 2020. Adapun kasus ini bermula saat Azis mencoba menghubungi mantan Penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju untuk menutup perkara yang menjerat Politikus Partai Golkar Aliza Gunado dan dirinya di KPK. 

Robin meminta uang ke Azis untuk membantunya menutup perkara di KPK. Untuk melancarkan aksinya, Robin juga dibantu Pengacara Maskur Husain. Robin diduga berkali-kali menemui Azis untuk menerima uang. Pemberian uang dilakukan secara berkala yakni sebanyak tiga kali yakni 100 ribu dolar AS, 17.600 dolar Singapura, dan 140.500 dolar Singapura. 

Kesepakatan awalnya, Azis Syamsuddin harus memberikan Rp4 miliar untuk menutup kasusnya. Sementara, Robin dan Maskur diduga telah menerima Rp3,1 miliar dari Azis. 

Atas tindakannya, Azis disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf  a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.