Pemerintah dan DPR RI Didesak Segera Bahas dan Sahkan RUU Perampasan Aset
Ilustrasi perampasan aset (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mendesak pemerintah dan DPR RI melakukan pembahasan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perampasan aset. Sebab, RUU ini dibutuhkan agar negara dapat merampas aset kejahatan pelaku korupsi tanpa bergantung dengan kehadiran mereka.

"RUU ini kami yakini menjadi paket penting untuk dapat merampas aset penting hasil kejahatan korupsi," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Rabu, 15 Juli.

Di masa mendatang, sambung dia, keitka rancangan perundangan ini disahkan, penegak hukum tak perlu bergantung pada kehadiran pelaku korupsi di Indonesia. Sebab, meski mereka menjadi buronan namun segala aset yang dimiliki dan berasal dari tindak pidana korupsi bisa dirampas dalam persidangan.

"Metode pembuktiannya pun lebih mudah karena mengadopsi konsep pembalikan beban pembuktian," ungkapnya.

Dia mengatakan, RUU Perampasan Aset tersebut sudah menggantung dan jadi tunggakan perundangan yang harus dibahas antara pemerintah dan DPR RI sejak tahun 2012 lalu.

Dengan tak segera dibahas dan disahkannya rancangan perundangan ini, menurut dia, makin membuktikan pemerintah maupun DPR RI tak pernah memikirkan penguatan legislasi di bidang pemberantasan tindak pidan korupsi.

"Legislasi penting seperti RUU Perampasan Aset ini saja selama delapan tahun tidak kunjung dibahas oleh pembentuk UU, sedangkan revisi UU KPK, prosesnya sangat kilat dan praktis kurang dari 15 hari saja," ujarnya.

Sedangkan saat ditanya soal pengesahan UU Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) Masalah Pidana antara Indonesia dan Swiss, Kurnia menilai perjanjian itu tak terlalu membawa angin segar bagi pemberantasan korupsi di tingkat transnasional.

"MLA Indonesia dengan Swiss sebenarnya hanya bagian kecil dari legislasi yang mendukung perampasan aset hasil kejahatan korupsi di luar negeri," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah akan segera mengumpulkan data dan melacak aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss. Hal ini dilakukan setelah DPR RI menyetujui untuk menetapkan Rancangan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss menjadi Undang-Undang.

Setelah perundangan disahkan oleh DPR, Yasonna mengatakan, Kemenkumham akan membentuk tim dan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk melakukan pelacakan aset ke Swiss seperti Bareskrim, KPK, Kementerian Luar Negeri.

Dengan adanya kerja sama ini, Indonesia bisa meminta pihak Swiss membuka data dan memintanya. Selain itu, akibat kerja sama ini Indonesia bisa menyita aset yang berhasil dilacak bersama pemerintah Swiss.

Diketahui, UU yang mengatur Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dengan Swiss diprakarsai oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 saat bertemu dengan Presiden Konfederasi Swiss Micheline Calmy-Rey di Istana Negara, Jakarta. Saat itu, Calmy-Rey sepakat dengan ide pemerintahannya dan pemerintah Indonesia saling bekerja sama mengembalikan aset koruptor di negara itu.

Pembicaraan kembali dilakukan pada 2010 saat Presiden Konfederasi Swiss Doris Leuthard berkunjung ke Indonesia. Namun perjanjian ini redup akibat berbagai hambatan. Termasuk teknis pengembalian aset dan ketatnya aturan perbankan di Swiss.

Diskusi kembali hidup di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan perundingan pertama pun digelar pada 28-30 April 2015 di Bali. 

Delegasi Indonesia kala itu diketuai Direktur Hukum Internasional dan Otoritas Pusat yang kini menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada Agustus 2017, digelar perundingan kedua di Bern, Swiss. 

Pada 4 Februari 2019 Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter menandatangani perjanjian MLA Indonesia-Swiss dalam pertemuan di Bernerhof, Bern, Swiss.