Pemerintah Tancap Gas Kejar Aset Hasil Tindak Pidana ke Swiss
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah akan segera mengumpulkan data dan melacak aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss. Hal ini dilakukan setelah DPR RI menyetujui untuk menetapkan Rancangan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss menjadi Undang-Undang.

Setelah perundangan disahkan oleh DPR, Yasonna mengatakan, Kemenkumham akan membentuk tim dan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk melakukan pelacakan aset ke Swiss. 

"Kami akan membentuk tim dan duduk bersama-sama dengan Bareskrim, Kejaksaan, KPK, serta Kementerian Luar Negeri untuk melakukan asset tracing," kata Yasonna dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Rabu, 15 Juli.

Dia mengatakan, pemerintah Indonesia akan bekerja sama dengan pihak Swiss untuk membuka data dan memintanya. "Dengan dasar hukum ini, kita sudah bisa melakukannya," ungkapnya sambil menambahkan perundangan yang baru ini juga mengatur aset yang berhasil dilacak bisa disita oleh negara.

"Bagusnya, UU ini bersifat retroaktif. Jadi seluruh kejahatan fiskal, pencucian uang, atau apa saja yang terjadi sebelum perjanjian bisa kita lacak," imbuh politikus PDI Perjuangan ini.

Setelah Swiss, Yasonna mengatakan, pemerintah akan berupaya menjalin perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) dengan negara-negara lainnya sebagai langkah pemberantasan tindak pidana transnasional. 

Selain Swiss, Indonesia telah mengikat perjanjian yang sama dengan Rusia, Iran, dan negara sejumlah lainnya. "Kita akan teruskan hal ini. Misalnya dengan Serbia. Walaupun belum ada perjanjian ekstradisi dan MLA tapi Serbia sudah mengajukan draft dan akan kita bahas tahun depan setelah pandemi COVID-19 berakhir," ujarnya.

Dia mengatakan perjanjian ini memang sangat dibutuhkan karena berisi hal penting dalam penegakan hukum dan diharapkan dapat menjawab tantangan dan permasalahan tindak pidana yang dihadapi Indonesia dan Swiss.

Apalagi penyelesaian kasus tindak pidana transnasional jauh dari kata mudah dan berbeda dengan penanganan kasus tindak pidana dalam teritorial negara. 

"Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional membutuhkan kerja sama bilateral dan multiteral, khususnya di bidang penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan," pungkasnya.

UU yang mengatur Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dengan Swiss diprakarsai oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 saat bertemu dengan Presiden Konfederasi Swiss Micheline Calmy-Rey di Istana Negara, Jakarta. Saat itu, Calmy-Rey sepakat dengan ide pemerintahannya dan pemerintah Indonesia saling bekerja sama mengembalikan aset koruptor di negara itu.

Pembicaraan kembali dilakukan pada 2010 saat Presiden Konfederasi Swiss Doris Leuthard berkunjung ke Indonesia. Namun perjanjian ini redup akibat berbagai hambatan. Termasuk teknis pengembalian aset dan ketatnya aturan perbankan di Swiss.

Diskusi kembali hidup di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan perundingan pertama pun digelar pada 28-30 April 2015 di Bali. 

Delegasi Indonesia kala itu diketuai Direktur Hukum Internasional dan Otoritas Pusat yang kini menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada Agustus 2017, digelar perundingan kedua di Bern, Swiss. 

Pada 4 Februari 2019 Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter menandatangani perjanjian MLA Indonesia-Swiss dalam pertemuan di Bernerhof, Bern, Swiss.