Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, tak akan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Tim Pemburu Koruptor yang diatur melalui Instruksi Presiden (Inpres). 

"Tim itu akan melibatkan Kejaksaan Agung, Polri, Kemenkumham, kemudian Kemendagri karena itu juga menyangkut masalah kependudukan, dan departemen teknis lainnya," kata Mahfud dalam keterangan videonya, Selasa, 14 Juli.

Alasan Mahfud tidak melibatkan KPK karena lembaga tersebut merupakan lembaga khusus di bidang pemberantasan korupsi. 

Dia juga memastikan Tim Pemburu Koruptor ini tak akan menyerobot kerja pemberantasan korupsi yang telah dilaksanakan oleh KPK.

"KPK itu lembaga tersendiri. Jadi yang diburu oleh KPK tentu nanti dikoordinasikan tersendiri," tegasnya.

Terkait Inpres yang jadi dasar pembentukan tim yang mengejar koruptor dan memburu aset koruptor ini, eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengaku telah mengantonginya.

"Inpres tentang tim pemburu aset dan pemburu tersangka dan terpidana koruptor serta tindak pidana lain sudah ada di tangan Kemenko Polhukam," ungkapnya.

Setelah ini, kata Mahfud, pihaknya tinggal membentuk tim agar bisa segera bekerja. Terkait nama-nama yang akan bergabung di tim tersebut, dia mengatakan, pihaknya akan mendengar masukan dari masyarakat maupun institusi lain.

Dirinya menambahkan, instansi penegakan hukum lainnya tentu harus bersinergi dengan tim ini. "Karena ini memang perlu kerja bareng tidak boleh berebutan dan saling sabot tetapi berpresatasi pada posisi tugas masing-masing atau aparat yang ditugaskan untuk melakukan itu," ujarnya.

Sebelumnya, Mahfud mengaktifkan tim yang bertugas menangkap terpidana kasus Bank bali, Djoko Sugiarto Tjandra yang buron. Tim seperti ini pernah dibentuk di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono. 

Mahfud mengatakan, tim ini, beranggotan pimpinan Kejagung dan Kemenkumham di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.

Sementara, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, pengaktifan kembali tim ini dirasa tak perlu. Sebab, selain tak begitu efektif karena hanya mampu menangkap 4 orang dari 16 target penangkapan, tim ini dikhaawatirkan akan tumpang tindih dengan tim yang sudah ada sebelumnya.

"Kebijakan tim baru ini berpotensi tumpang tindih dari segi kewenangan," kata peneliti ICW Wana Alamsyah.

Apalagi sejak 1996-2018 ada 40 buronan kasus korupsi yang belum berhasil ditangkap penegak hukum. Sehingga, daripada membuat tim baru sebaiknya penegak hukum yang sudah ada semakin diperkuat. Salah satu caranya adalah dengan melakukan pendekatan non-formal dengan pemerintah atau penegak hukum di negara lain.

Hal ini kata dia berguna agar negara lain mau membantu dan mempercepat penangkapan puluhan buronan yang kabur ke luar negeri.

"Jangan sampai dalam kondisi pandemi saat ini, upaya membuat taskforce baru malah jadi kontra produktif," pungkasnya.