Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan penerapan Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor tentang hukuman mati bagi pelaku korupsi terkait bencana tak akan diterapkan kepada Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan penerapan pasal ini belum bisa dilakukan karena dugaan korupsi yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) ini berkaitan dengan suap untuk memenangkan proyek pembangunan infrastruktur.

"Yang kami tangkap ini adalah pada saat pemberian hadiah atau janji barang berupa uang Rp250 juta melalui dua tahap yaitu Rp25 juta dan Rp225 juta agar dimenangkan pada tahap penentuan konsultan," kata Ghufron dalam konferensi pers yang ditayangkan di YouTube KPK RI, Rabu, 22 September.

Ghufron menjelaskan Andi menerima suap dari Kepala BPBD Kolaka Timur Anzarullah agar perusahaannya mendapat dua proyek yang berasal dari dana hibah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hanya saja, kedunya justru terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) saat proses pemilihan dilakukan.

Atas dasar itu, Andi dan Anzarullah bebas dari ancaman pidana hukuman mati. Ghufron menyebut jika tindakan keduanya telah berujung pengesahan pemenang, penggunaan Pasal 2 ayat 2 Undangan-Undang Tipikor bisa digunakan.

"Kecuali, proses penentuan konsultannya sudah terjadi, dan kemudian ada melawan hukum karena adanya suap ini baru bisa masuk ke Pasal 2 ayat 2. Tapi, ini sedang berjalan," tutur Ghufron.

Meski begitu, Ghufron tak menepis kemungkinan penggunaan hukuman mati dalam bagi keduanya saat pendalaman kasus nantinya. KPK, kata dia, memastikan tak akan pandang bulu untuk mengusut dugaan korupsi ini.

"Apakah nanti memungkinkan ke Pasal 2 ayat 2 tentu masih kami akan proses lebih lanjut? Ini suap untuk proses pemenangan yang sedang berlangsung, belum selesai," ucap Ghufron.

Kasus ini bermula pada September 2021. Andi dan Anzarullah awalnya mengajukan dana hibah logistik dan peralatan ke BNPB Pusat di Jakarta.

Dari permintaan itu Kolaka Timur mendapatkan dana hibah relokasi dan rekonstruksi senilai Rp26,9 miliar. Kolaka Timur juga mendapatkan hibah dana siap pakai senilai Rp12,1 miliar.

Setelah mendapatkan dana itu, Anzarullah meminta Andi untuk mengatur beberapa proyek pekerjaan fisik dikerjakan oleh perusahaannya. Dari kongkalikong itu, timbul kesepakatan jasa konsultasi proyek pembangunan dua jembatan di Kecamatan Ueesi, dan jasa konsultasi pembangunan seratus rumah di Kecamatan Uluiwoi dikerjakan oleh Anzarullah.

Andi kemudian menuruti permintaan tersebut dan dijanjikan mendapatkan fee 30 persen dari jasa konsultasi proyek yang dikerjakan oleh orang perusahaan Anzarullah.

Selanjutnya, Andi memerintahkan jajarannya agar jasa konsultasi proyek yang diminta dimenangkan oleh Anzarullah. Dari kongkalikong itu, Andi diduga telah menerima uang Rp250 juta yang diberikan secara bertahap dari Anzarullah.

Atas perbuatannya, Anzarullah selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan, Andi selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.