Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengingatkan pemerintah daerah untuk melaksanakan lelang dalam proses pengadaan barang dan jasa. Proses tersebut mencegah adanya pemberian upeti di luar pendapatan penyelenggara negara.

Hal ini disampaikan setelah KPK menetapkan Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur dan Kepala BPBD Kolaka Timur Anzarullah sebagai tersangka. Keduanya menjadi tersangka dugaan suap pengadaan proyek infrastruktur yang berasal dari dana hibah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

"Pengadaan barang dan jasa melalui lelang dilakukan sebagai sistem pencegahan agar seluruh proyek pemerintah berjalan dengan bersih dan tidak disusupi oleh keinginan pejabat mendapatkan upeti di luar pendapatannya sebagai penyelenggara negara," kata Ghufron dalam konferensi pers yang ditayangkan YouTube KPK RI, Rabu, 22 September.

Ia juga mengingatkan para penyelenggara negara untuk memegang sumpah jabatan mereka. "Serta bekerja sebagai pelayan masyarakat," tegas Ghufron.

Kasus ini bermula ketika Maret hingga Agustus lalu, Andi Merya dan Anzarullah menyusun proposal dana hibah BNPB yang berupa dana rehabilitasi dan rekonstruksi serta dana siap pakai.

"Kemudian awal September 2021, AMN dan AZR datang ke BNPB Pusat di Jakarta untuk menyampaikan paparan terkait dengan pengajuan dana hibah logistik & peralatan, di mana Pemkab Kolaka Timur memperoleh dana hibah BNPB yaitu Hibah Relokasi dan Rekonstruksi senilai Rp26,9 miliar dan Hibah Dana Siap Pakai senilai Rp12,1 miliar," ungkap Ghufron.

Selanjutnya, Anzarullah meminta Andi Merya agar proyek yang dananya berasal dari hibah BNPB dikerjakan oleh orang kepercayaan serta pihak lain yang membantu proses pencairan.

Ada dua proyek yang kemudian sudah diminta Anzarullah untuk dikerjakannya. Proyek tersebut adalah paket belanja jasa konsultasi perencanaan pekerjaan jembatan 2 unit di Kecamatan Ueesi senilai Rp714 juta dan belanja jasa konsultansi perencaaan pembangunan 100 unit rumah di Kecamatan Uluiwoi senilai Rp175 juta.

Atas permintaan itu, Andi Merya menyetujui dan Anzarullah akan memberikan fee sebesar 30 persen. 

"Selanjutnya AMN memerintahkan AZR untuk berkoordinasi langsung dengan Dewa Made Ratmawan, Kabag ULP agar memproses pekerjaan perencanaan lelang konsultan dan menguploadnya ke LPSE sehingga perusahaan milik AZR dan/atau grup AZR dimenangkan serta ditunjuk menjadi konsultan perencana pekerjaan 2 proyek dimaksud," jelas Ghufron.

Berikutnya, Andi Merya juga meminta uang sebesar Rp250 juta atas dua proyek tersebut dan Anzarullah menyerahkan uang sebesar Rp25 juta lebih dulu. "Sedangkan sisanya sebesar Rp225 juta sepakat akan diserahkan di rumah pribadi AMN," ujarnya.

Atas perbuatannya, Anzarullah sebagai pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara Andi Merya sebagai penerima disangka melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.