Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur dan Kepala BPBD Kolaka Timur Anzarullah sebagai tersangka dugaan suap dana hibah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 

Penetapan ini dilakukan setelah keduanya terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa, 21 September.

"KPK meningkat status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan tersangka sebagai berikut AMN (Andi Merya Nur) Bupati Kolaka Timur periode 2021-2026 dan AZR (Anzarullah) Kepala BPBD Kolaka Timur," kata Wakil Ketua Nurul Ghufron dalam konferensi pers yang ditayangkan di YouTube KPK RI, Rabu, 22 September.

Ghufron mengatakan kedua tersangka ini akan ditahan selama 20 hari sejak hari ini hingga 11 Oktober di rutan yang berbeda. Andi Merya ditahan di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih sedangkan Anzarullah ditahan di Rutan KPK Kavling C1.

Nantinya, mereka menjalankan isolasi mandiri lebih dulu di rutan masing-masing guna mencegah penyebaran COVID-19.

Adapun kasus ini bermula ketika Maret hingga Agustus lalu, Andi Merya dan Anzarullah menyusun proposal dana hibah BNPB yang berupa dana rehabilitasi dan rekonstruksi serta dana siap pakai.

"Kemudian awal September 2021, AMN dan AZR datang ke BNPB Pusat di Jakarta untuk menyampaikan paparan terkait dengan pengajuan dana hibah logistik & peralatan, di mana Pemkab Kolaka Timur memperoleh dana hibah BNPB yaitu Hibah Relokasi dan Rekonstruksi senilai Rp26,9 miliar dan Hibah Dana Siap Pakai senilai Rp12,1 miliar," ungkap Ghufron.

Selanjutnya, Anzarullah meminta Andi Merya agar proyek yang dananya berasal dari hibah BNPB dikerjakan oleh orang kepercayaan serta pihak lain yang membantu proses pencairan.

Ada dua proyek yang kemudian sudah diminta Anzarullah untuk dikerjakannya. Proyek tersebut adalah paket belanja jasa konsultasi perencanaan pekerjaan jembatan 2 unit di Kecamatan Ueesi senilai Rp714 juta dan belanja jasa konsultansi perencaaan pembangunan 100 unit rumah di Kecamatan Uluiwoi senilai Rp175 juta.

Atas permintaan itu, Andi Merya menyetujui dan Anzarullah akan memberikan fee sebesar 30 persen. 

"Selanjutnya AMN memerintahkan AZR untuk berkoordinasi langsung dengan Dewa Made Ratmawan, Kabag ULP agar memproses pekerjaan perencanaan lelang konsultan dan menguploadnya ke LPSE sehingga perusahaan milik AZR dan/atau grup AZR dimenangkan serta ditunjuk menjadi konsultan perencana pekerjaan 2 proyek dimaksud," jelas Ghufron.

Berikutnya, Andi Merya juga meminta uang sebesar Rp250 juta atas dua proyek tersebut dan Anzarullah menyerahkan uang sebesar Rp25 juta lebih dulu. "Sedangkan sisanya sebesar Rp225 juta sepakat akan diserahkan di rumah pribadi AMN," ujarnya.

Atas perbuatannya, Anzarullah sebagai pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara Andi Merya sebagai penerima disangka melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.