JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Andi Merya Nur, Bupati Kolaka Timur nonaktif. Ia merupakan tersangka dugaan suap pengadaan infrastruktur dari dana hibah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri mengatakan pemeriksaan itu dilakukan untuk mendalami alur dana hibah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
"Tim penyidik mengonfirmasi dan mendalami lebih jauh mengenai proses dana hibah yang akan diterima pihak Pemkab Kolaka Timur dari BNPB berupa dana rehabilitasi dan rekonstruksi serta dana siap pakai," kata Ali kepada wartawan, Selasa, 5 Oktober.
Penetapan Andi Merya Nur ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin, 20 September lalu. Selain Andi Merya, KPK juga menetapkan Kepala BPBD Kolaka Timur Anzarullah sebagai tersangka.
Kasus ini bermula ketika Maret hingga Agustus lalu, Andi Merya dan Anzarullah menyusun proposal dana hibah BNPB yang berupa dana rehabilitasi dan rekonstruksi serta dana siap pakai.
Selanjutnya, Anzarullah meminta Andi Merya agar proyek yang dananya berasal dari hibah BNPB dikerjakan oleh orang kepercayaan serta pihak lain yang membantu proses pencairan.
BACA JUGA:
Ada dua proyek yang kemudian sudah diminta Anzarullah untuk dikerjakannya. Proyek tersebut adalah paket belanja jasa konsultasi perencanaan pekerjaan jembatan 2 unit di Kecamatan Ueesi senilai Rp714 juta dan belanja jasa konsultansi perencaaan pembangunan 100 unit rumah di Kecamatan Uluiwoi senilai Rp175 juta.
Andi Merya menyetujui dan Anzarullah memberikan fee sebesar 30 persen. Atas perbuatannya, Anzarullah sebagai pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara Andi Merya sebagai penerima disangka melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.