LaporCovid-19: Angka Kematian Berlebih di Jawa Naik 10 Kali Lipat Saat COVID-19 Melonjak Bulan Juli
Ilustrasi/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Koalisi warga LaporCovid-19 mencatat terjadi kenaikan kematian berlebih sampai 10 kali lipat di Pulau Jawa, saat lonjakan kasus COVID-19 terjadi pada bulan Juli 2021.

Hal ini diketahui berdasarkan riset kematian berlebih (excess death) dengan pengambilan sampling di sejumlah desa Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.

"Excess death atau kematian berlebih di beberapa desa itu sangat tinggi sekali ternyata. Rata-ratanya 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan angka kematian bulanan," kata Co-Inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif dalam diskusi virtual, Rabu, 8 September.

Arif mencontohkan, pada salah satu desa di Majalengka, kematian rata-rata warga setiap bulan sejumlah 3 sampai 5 orang. Pada Juli lalu, kematian warga di Majalengka mencapai 50 orang.

Kemudian pada desa di Sidoarjo. Salah satu desa di sana memiliki kematian rata-rata 3 orang per bulan selama 5 tahun terakhir. Ternyata pada Juli lalu, kematiannya mencapai 35 orang.

Sayangnya, kata Arif, banyak kematian yang terjadi saat lonjakan kasus COVID-19 tidak dilakukan pemulasaran jenazah sesuai protokol COVID-19.

Sebab, kematian tersebut tak tercatat sebagai kasus COVID-19. Padahal, kemungkinan besar kematian tersebut terjadi pada jenazah yang terpapar COVID-19.

"Sebagian besar orang yang meninggal itu memang tidak dikubur dengan protokol COVID-19 karena memang mereka tidak dites COVID-19 sebelumnya," ungkap Arif.

Dia juga menjelaskan tingginya angka kematian COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri di rumah. Sampai saat ini, tercatat ada 3.013 warga yang meninggal dalam kondisi isolasi mandiri.

Angka kematian ini disebut Arif tak tercatat oleh Kementerian Kesehatan dalam penanganan COVID-19. Sehingga, hal ini akan berdampak pada masalah penanggulangan corona di Indonesia.

"Kita sangat bermasalah dengan data kematian. Data ini bisa mempengaruhi dua hal, yakni pada kebijakan yang bisa bermasalah dan juga persepsi risiko publik yang juga bermasalah," ungkap Arif.