JAKARTA - Tak kunjung ditangkapnya eks caleg PDI Perjuangan Harun Masiku membuat Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak mengevaluasi Firli Bahuri bersama empat pimpinan lainnya, termasuk Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto.
Desakan tersebut muncul dari peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Menurutnya, evaluasi harus dilakukan karena Harun tersebut sudah kabur terlalu lama dan pencariannya tak kunjung memperlihatkan hasil yang signifikan.
Harun merupakan tersangka pemberi suap terhadap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan untuk menjadi anggota DPR RI melalui tahapan pergantian antarwaktu (PAW). Ia buron sejak gagal tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 2020 lalu.
"ICW merekomendasikan agar Dewan Pengawas KPK segera turun tangan untuk menyelesaikan polemik pencarian Harun Masiku dengan memanggil serta mengevaluasi kinerja Deputi Penindakan dan seluruh Komisioner KPK," kata Kurnia dalam keterangannya kepada wartawan yang dikutip Rabu, 8 September.
Tak hanya itu, evaluasi juga harus dilakukan karena ICW alasan yang disampaikan Karyoto jika pencarian Harun terkendala pandemi COVID-19 terlalu mengada-ada. Alasannya, KPK sebenarnya punya jaringan dengan penegak hukum di negara lain untuk mendeteksi dan memastikan keberadaan buronannya itu.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, ICW juga mencurigai ada pejabat tinggi di KPK yang melindungi Harun Masiku sehingga dia tak diproses hukum. "Bahkan tidak menutup kemungkinan oknum pejabat tinggi KPK tersebut takut meringkus karena berkaitan langsung dengan elit partai politik tertentu. Sederhananya, jika Harun tertangkap maka elit partai politik tersebut juga akan terseret," tegas Kurnia.
Kecurigaan ini, sambungnya, sebenarnya sudah timbul sejak awal saat petugas akan menangkap Harun sebelum dia kabur. Kurnia mengatakan, ketika Harun akan diringkus di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan terjadi intimidati terhadap pegawai KPK tak ada pembelaan atau perlindungan dari Pimpinan KPK.
Selain itu, sejumlah peristiwa lain seperti penghentian secara paksa salah seorang penyidik yaitu Kompol Rossa juga mewarnai upaya penangkapan Harun hingga penyingkiran sejumlah pegawai lewat Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan.
Sehingga, Kurnia menegaskan evaluasi harus dilakukan dan jika hasilnya menunjukkan adanya upaya menghalangi pencarian Harun maka harus dilakukan tindakan hukum. "Oknum tersebut dapat dijerat dengan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor atau obstruction of justice," ungkap Kurnia.
Sampai mana pencarian Harun Masiku?
KPK memang selama ini tak memerinci kerja yang sudah dilakukan untuk mencari Harun di tengah sorotan masyarakat. Terbaru, Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri hanya meyakinkan pihaknya terus bekerja mencari bekas caleg tersebut.
"KPK masih terus bekerja serius dan meminta bantuan ke berbagai institusi di dalam maupun luar negeri untuk mempercepat pencariannya," ujarnya pada wartawan, Senin, 6 September.
Selain itu, dia juga meminta siapapun yang mengetahui informasi keberadaan buronannya untuk menyampaikan informasi ke KPK bukan malah berkoar-koar ke publik. Alasannya, hal semacam ini bisa menjadi polemik di tengah masyarakat dan membuat penangkapan Harun menjadi terhambat.
"Kami minta kepada pihak mana pun yang betul-betul tahu keberadaannya (Harun Masiku, red) saat ini untuk segera lapor kepada KPK maupun aparat penegak hukum lain, supaya ditindaklanjuti," tegas Ali.
Sementara itu, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto beberapa waktu mengatakan dirinya bernafsu untuk segera menangkap Harun. Hanya saja, keinginannya itu harus ditahan lebih dulu akibat pandemi COVID-19.
Apalagi, Harun disebutnya sudah tak lagi berada di Indonesia melainkan di luar negeri. "Kita mau ke sana juga bingung karena pandemi sudah berapa tahun," tegas Karyoto beberapa waktu lalu.
Mengingat lagi perjalanan kasus Harun Masiku
Harun Masiku ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Januari 2020. Penyuapan ini dilakukan agar dia mendapatkan kemudahan duduk sebagai anggota DPR RI melalui pergantian antar waktu atau PAW.
Pelarian Harun bermula saat KPK melakukan operasi tangkap tangan soal perkara ini pada 8 Januari 2020. Dalam operasi senyap itu, KPK menetapkan empat tersangka yaitu Harun Masiku, Wahyu Setiawan, eks Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri.
Hanya saja, Harun yang tak terjaring OTT tak diketahui keberadaannya. Dia dikabarkan lari ke Singapura dan disebut telah kembali ke Indonesia.
Kasus ini bermula dari meninggalnya caleg PDIP yang bernama Nazarudin Kiemas. Pada bulan Juli 2019, partai berlambang banteng itu mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA).
Pengajuan itu lantas dikabulkan dan sebagai penentu pengganti antar waktu (PAW), partai berlambang banteng itu kemudian mengirimkan surat pada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti Nazarudin.
Hanya saja, KPU justru menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti saudara ipar Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang telah meninggal dunia itu. Jelas alasannya, perolehan suara Riezky berada di bawah Nazarudin atau di posisi kedua untuk Dapil Sumatera Selatan I.
Lobi-lobi kemudian dilakukan agar Harun bisa menjadi anggota legislatif. Melihat celah itu, Wahyu Setiawan sebagai komisioner KPU menyebut siap membantu asalkan ada dana operasional sebesar Rp900 juta dan transaksi pun dilakukan dalam dua tahap di pertengahan dan akhir bulan Desember 2019.