Usai PM Israel Temui Presiden Biden, Presiden Palestina Mahmoud Abbas Bertemu Menteri Pertahanan Israel
Presiden Palestina Mahmoud Abbas. (Wikimedia Commons/Пресс-служба Президента России)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Palestina Mahmoud Abbas bertemu dengan Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz di kota Ramallah, Tepi Barat, pada Minggu waktu setempat, kata para pejabat.

Ini adalah pertemuan tingkat tertinggi pertama antara Presiden Abbas dan seorang menteri Israel yang diumumkan kepada publik, sejak pemerintah baru Israel di bawah Perdana Menteri Naftali Bennett dibentuk pada Juni.

Menteri Benny Gantz, yang mengepalai partai sentris, mengatakan kepada Abbas, Israel akan mengambil langkah-langkah untuk memperkuat ekonomi Palestina, menurut sebuah pernyataan dari kantornya.

"Mereka juga membahas pembentukan situasi keamanan dan ekonomi di Tepi Barat dan di Gaza," kata pernyataan itu, mengutip Reuters Senin 30 Agustus.

"Mereka sepakat untuk terus berkomunikasi lebih lanjut tentang isu-isu yang diangkat selama pertemuan," sambung pernyataan tersebut.

Terpisah, Hussein Al Sheikh, anggota Komite Sentral Kelompok Fatah yang merupakan basis politik Presiden Mahmoud Abbas mengatakan, diskusi itu mencakup 'semua aspek' hubungan antara Palestina dengan Israel.

Pertemuan di Ramallah terjadi hanya beberapa hari setelah PM Naftali Bennett bertemu dengan Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih, di mana Presiden Biden menegaskan kembali dukungan untuk solusi dua negara.

Pembicaraan damai antara kedua belah pihak gagal pada 2014, meskipun Israel selama setahun terakhir telah mencapai kesepakatan normalisasi dengan sejumlah negara Arab, di bawah sponsor AS.

Untuk diketahui, pemerintah baru Israel saat ini meliputi bentangan aliran partai yang panjang, mulai dari paling kiri hingga yang paling kanan, termasuk bergabungnya sebuah faksi Islam kecil dalam koalisi pemerintahan Israel.

Sementara, Perdana Menteri Naftali Bennett, yang mengepalai partai ultranasionalis, menentang kenegaraan Palestina. Tetapi mengingat susunan koalisinya, setiap keputusan kebijakan sensitif tentang konflik Israel-Palestina akan sulit.