JAKARTA- Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, menyebut saat ini kasus COVID-19 di luar Jawa dan Bali menuju masa krisis. Saat masa krisis itu telah berlalu di luar Jawa-Bali, Dicky mengingatkan potensi lonjakan kasus di Jawa-Bali pada pertengahan September.
Dia menyebut fenomena itu seperti permainan bola pingpong. "Prediksi pertengahan September itu karena di luar Jawa ini menuju masa krisisnya, dan mereka penyebabnya karena Delta varian ini," ujarnya kepada wartawan, Jumat, 27 Agustus.
"Sekali lagi saya ingatkan Delta varian ini bisa menyerang lagi Jawa dan Bali, jadi itu yang terjadi di Inggris sekarang, dia sudah menyambut, gelombang berikutnya sudah terjadi lagi, jadi bahkan ketika vaksinasi sudah mulai lebih banyak," sambungnya.
Menurutnya, ini menjadi peringatan penting agar jangan longgar protokol kesehatan dan jangan mengandalkan vaksinasi.
"Karena test positivity rate itu tidak terjaga, kemudian banyak pelonggaran, makanya Indonesia diperingatkan WHO, karena terlalu drastis pelonggaran di tengah kapasitas testing, tracing yang menurun. Dan ini yang nanti akan berkontribusi," lanjutnya.
Menurut Dicky, data sebaran Corona itu bisa dilihat dari jumlah kasus kematian. Tingginya angka kematian, kata Dicky, salah satu kemungkinan banyaknya kasus yang tidak terdeteksi.
"Jadi dengan formula itu bisa diprediksi kematian 3-4 minggu ke depan dari kasus infeksi yang terjadi saat ini. Dan sebaliknya kematian yang terjadi saat ini bisa menghitung, memprediksi berapa setidaknya kasus infeksi yang berkontribusi pada kematian saat ini. Kalau bicara kematian seribu saja itu setidaknya 120 ribuan kasus infeksi per hari di hari 3 minggu lalu," tuturnya.
Dengan perhitungan itu, Dicky menyakini kasus yang tidak terdeteksi dalam sehari bisa mencapai 50 ribu kasus merujuk pada angka kematian yang tinggi.
"Jadi bayangkan, jadi missing case kita sudah 50 ribuan sehari, maka saya pernah mengeluarkan hitungan estimasi bahwa setidaknya 1 juta kasus infeksi kita luput pada masa PPKM ini dan itu serius dampaknya. Karena potensi lahirnya varian ada, potensi kematian yang tidak terdeteksi banyak dan ingat, COVID-19 ini dampak jangka panjangnya belum tahun dan jelas ada. Dan itu bisa menurunkan kualitas SDM, long COVID, jadi banyak sekali yang merugikan negara ini ke depan," jelasnya.
BACA JUGA:
Menurut Dicky cara mencegah potensi lonjakan kasus itu adalah melakukan 3T dengan masif dan PPKM level dilakukan dengan disiplin. Selain itu, protokol kesehatan harus terus diterapkan secara ketat.
"PPKM itu strategi kan, ada nanti sampai nanti pandemi, kita harus punya strategi yang komprehensif yang bergradasi. Ini sekarang dijawab dengan PPKM level 4 sampai 1 itu, jadi itu nanti akan terus dilakukan sampai akhir pandemi, dan leveling itu menentukan respons terhadap situasi," katanya.
"Kalau meningkat, jadi bisa sampai bahkan jadi 4 lagi. Jadi tiap diturunkan nggak boleh abai di 3T, tetapi sekarang dilihat 3T-nya lemah, bahkan di level 4-nya sudah lemah, apalagi ke level bawahnya, ini yang berbahaya dan ini bisa menjadi fenomena pingpong itu," jelas Dicky
Dicky mengatakan, kurangnya deteksi dini kasus Corona dapat meningkatkan angka kematian hingga lonjakan kasus Corona.
"Masih sangat banyak kasus yang tidak terdeteksi dan sekali lagi test positivity rate kita mau 2 tahun kita masih selalu di atas 10 persen, dan jangankan lebih dari setahun ya, sebulan saja test positivity rate itu dampaknya luar biasa pada kasus di masyarakat dan pada kematian," jelasnya.
Krisis Varian Delta Belum Selesai
Dicky mengingatkan bahwa Indonesia belum lepas dari Corona varian Delta. Dia juga berbicara kemungkinan lonjakan kasus Corona kembali terjadi pada pertengahan September jika tidak dilakukan mitigasi.
"Sepertinya kita belum selesai krisis Delta dan saya sampaikan potensi lonjakan baru ada di pertengahan September ini kalau mitigasinya masih seperti ini dan angka kematian juga ada potensi meningkat tentu biasanya 3 minggu setelah lonjakan," jelas Dicky.
Lonjakan kasus Corona itu, kata Dicky kemungkinan akan terjadi di Pulau Jawa dan Bali pada daerah dengan cakupan testing masih rendah.
"Dari Jawa pun masih ada terutama di pedesaan dan perkampungan yang masih belum mencapai status test positivity rate 8 persen yang disebut moderat, ini yang menjadi permasalahan, ini yang akan membuat kondisi krisis ini menjadi pandemi kita lama nih dan nanti naik turun, terutama yang akan dilihat dan dirasakan masyarakat adalah banyaknya kematian karena di sisi lain vaksinasi belum menjangkau separuh dari penduduk sehingga kematian ini yang akan terjadi," ucapnya.