Tentara Rezim Militer Myanmar Disebut Disuntik dengan Vaksin COVID-19 yang Belum Disetujui
Pemimpin rezim militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing (berdiri mobil depan) saat upacara. (Wikimedia Commons/Mil.ru)

Bagikan:

JAKARTA - Kabar mengejutkan datang dari militer Myanmar, saat sumber internal menyebut mereka diberikan vaksinasi COVID-19 dengan vaksin yang belum mendapatkan persetujuan.

Program vaksinasi rahasia militer, yang menggunakan vaksin Covaxin lansiran perusahaan farmasi India Bharat Biotech, dimulai pada Januari dan berlanjut selama tiga bulan

Mereka yang menerima vaksin tidak diberitahu, jika saat itu vaksin masih dalam tahap uji klinis ketiga, menurut beberapa orang yang telah mengambil bagian dalam program tersebut.

"Mereka mengatakan akan memvaksinasi kami dan kemudian memeriksa kekebalan kami dua minggu setelah vaksinasi, untuk melihat apakah sudah naik. Jadi bisa dibilang ujian," ujar salah satu petugas yang menjadi salah satu subjek tes angkatan pertama kepada Myanmar Now seperti dikutip Minggu 22 Agustus.

Petugas yang ditempatkan di sebuah rumah sakit militer di Kotapraja Mingaladon, Yangon mengatakan, sebanyak 15 tentara, termasuk dirinya sendiri, diambil darahnya tiga kali setelah masing-masing dari dua dosis vaksin yang mereka terima.

militer myanmar
Ilustrasi tentara Myanmar. (Wikimedia Commons/Mil.ru)

Dia mengatakan, program itu kemudian diperluas untuk memasukkan lebih banyak personel militer setelah hasil dari 15 orang yang pertama divaksin telah diperiksa.

"Saya pikir mereka mengambil darah dari semua orang. Tetapi, kemudian kami mengetahui itu hanya kami. Bahkan kami bercanda, kami digunakan sebagai tikus lab. Ini menyebalkan, tapi tidak ada yang bisa kamu lakukan, karena ini tentara," paparnya.

Seorang lagi yang diwajibkan mengikuti program sebagai subjek uji mengatakan, vaksinasi COVID-19 ini dilakukan atas perintah perwira senior.

"Mereka ingin populasi penelitian berfungsi sebagai catatan orang-orang yang diberi suntikan, mungkin 100.000 orang atau lebih," tutur seorang dokter dari rumah sakit militer lain di Yangon.

"Sejujurnya, saya pikir itu menyedihkan, karena kami digunakan sebagai kelinci percobaan manusia dengan cara ini," lanjutnya.

Dokter yang enggan disebutkan namanya itu mengatakan, ada dua tim yang terlibat dalam pendataan dari mereka yang telah menerima vaksin tersebut.

"Ada sekelompok orang yang melacak bagaimana tubuh kita bereaksi terhadap vaksin, berapa banyak orang yang mengalami demam, berapa banyak yang menjadi mual. Yang lain menguji seberapa banyak jumlah antibodi dalam darah kita meningkat setelah vaksinasi," paparnya.

militer myanmar
Ilustrasi militer Myanmar. (Wikimedia Commons/Mil.ru)

Terpisah, istri seorang perwira angkatan laut mengungkapkan, suaminya diberi suntikan pertama pada pertengahan Februari dan yang kedua sebulan kemudian, akhirnya mengetahui vaksin yang diterimanya adalah Covaxin, dan bukan vaksin Covishield yang disetujui.

Dia menambahkan, meskipun suaminya dapat memperoleh informasi ini karena pangkatnya, tidak mungkin tentara biasa yang termasuk dalam program vaksinasi militer mengetahui fakta ini.

Untuk diketahui, Bharat Biotech memulai uji coba fase 3 untuk Covaxin November lalu, tetapi pada awal Januari, masih belum banyak kemajuan karena kurangnya sukarelawan yang mau mencoba vaksin.

Perusahaan, yang telah membantah melakukan uji klinis di luar India, mengatakan kepada Myanmar Now melalui email, mereka mengirim 55 botol vaksin ke Myanmar pada Januari, tetapi menambahkan ini adalah praktik standar ketika berurusan dengan calon pembeli.

Namun, pada 11 Februari, 200.000 dosis Covaxin lainnya dikirim ke Myanmar sebagai bagian dari program diplomasi Vaccine Maitri pemerintah India, di mana 1,5 juta dosis Covishield telah dikirim pada 22 Januari.

Pada 27 Januari, outlet berita Mint online India melaporkan, Bharat Biotech sedang mencari persetujuan dari Pemerintah Myanmar dan Bangladesh untuk menguji Covaxin di kedua negara.

militer myanmar
Ilustrasi militer Myanmar. (Twitter/@MyatWutYeeAung1)

Sementara, seorang pejabat dari Dewan Riset Medis India (ICMR), mitra Bharat Biotech dalam memproduksi vaksin, dikutip dalam artikel tersebut mengatakan uji coba semacam itu adalah bagian normal dari prosedur yang diikuti oleh negara-negara yang ingin mendapatkan vaksin COVID-19. Artikel tersebut juga mencatat, bagaimanapun, Bharat Biotech menolak untuk memberikan komentar apapun tentang masalah percobaan asing.

Tidak seperti Covishield, yang diproduksi oleh Serum Institute of India di bawah lisensi perusahaan farmasi dan bioteknologi multinasional AstraZeneca, Covaxin dikembangkan di India. Pada akhir Juni, ia telah menerima persetujuan penggunaan darurat di 16 negara, menurut laporan media lokal.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menerima permintaan untuk memasukkan Covaxin ke dalam Daftar Penggunaan Daruratnya pada awal Juli, belum menyelesaikan peninjauannya terhadap data yang dikirimkan.

Meski rezim militer Myanmar tidak mengakui melakukan uji klinis terhadap personel militer, tokoh senior rezim tidak merahasiakan kesediaan mereka menggunakan vaksin yang belum disetujui WHO untuk memerangi COVID-19.

Pada Bulan Februari, pemimpin kudeta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, menyebut Covaxin sebagai salah satu vaksin yang akan dibeli rezim, bersama dengan vaksin lain dari China dan Rusia.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.