BPK Temukan Pemborosan Anggaran Pengadaan <i>Rapid Test</i> DKI Hingga Rp1,19 Miliar
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya pemborosan anggaran Pemprov DKI terhadap pembelian rapid test COVID-19 untuk penanganan pandemi. Anggaran ini diambil dari pos belanja tak terduga (BTT) APBD DKI tahun 2020.

Hal ini disampaikan lewat laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemprov DKI tahun 2020 yang disahkan Kepala BPK DKI Pemut Aryo Wibowo.

Dalam laporannya, Pemut menjelaskan Pemprov DKI melakukan pembelian rapid test COVID-19 dari dua perusahaan. Pembelian alat tes itu memiliki merek yang sama dengan waktu yang berdekatan, namuan ternyata harga rapid test antara dua penyedia yang dibeli Pemprov DKI berbeda.

"Permasalahan di atas mengakibatkan pemborosan keuangan daerah senilai Rp1.190.908.000," tulis Pemut dalam laporan, dikutip pada Kamis, 5 Agustus.

Awalnya, Pemprov DKI memiliki kontrak pengadaan rapid test COVID-19 gG/IgM Rapid Test Cassete (WB/S/P) dengan PT NPN dalam satu kemasan isi 25 test cassete merk Clungene senilai RP9,87 miliar.

Pekerjaan telah dinyatakan selesai berdasarkan berita acara penyelesaian Nomor 12.4/BAST-SKRT/DINKES/DKI/VI/2020 tanggal 12 Juni 2020 dengan jumlah pengadaan 50 ribu pieces dengan harga per unit barang senilai Rp197.500.

Kemudian, Pemprov DKI juga memiliki kontrak pembelian dengan PT TKM, yakni rapid test COVID-19 IgG/IgM Rapid Test Cassete (WB/SP) dalam satu kemasan isi 25 test cassete merk Clungene senilai Rp9,09 miliar.

Pekerjaan telah dinyatakan selesai berdasarkan berita acara penyelesaian nomor 4.4/BAST-SKRT/DINKES/DKI/VI/2020020 tanggal 5 Juni 2020 dengan jumlah pengadaan sebanyak 40 ribu pieces dengan harga per unit barang senilai Rp227.272.

Berdasarkan dokumen berita acara konfirmasi kepada PT NPN dan pejabat pembuat komitmen (PPK) Pemprov DKI, Pemut menyebut bahwa PT NPN hanya ditawarkan melakukan pengadaan rapid test sebanyak 50 ribu pieces.

PT NPN tidak mengetahui jika terdapat pengadaaan serupa dengan jumlah yang lain karena tidak diberitahukan pihak Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Padahal, perusahaan mereka memiliki stok barang lebih dari yang dibeli Pemprov DKI.

"Seharusnya PPK dapat mengutamakan dan memilih penyedia jasa sebelumnya yang mengadakan produk sejenis dan stok tersedia dengan harga yang lebih murah," ucap Pemut.