JAKARTA - Kota Makassar menjadi wilayah dengan kasus COVID-19 paling tinggi di Provinsi Sulawesi Selatan. Per Selasa, 9 Juni, kasus COVID-19 di Makassar mencapai 1.137 orang, dari total kasus di Sulawesi Selatan yang mencapai 2.194 orang.
Tingginya kasus di Makassar diawali dari klaster peserta Ijtima Ulama di Gowa dan menyebar via transmisi lokal dari orang yang telah terinfeksi COVID-19.
Karena tingginya tingkat penularan, Makassar masuk dalam zona merah. Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengaku kesulitan untuk melandaikan kurva kasus COVID-19 di Makassar.
"Kemarin ada kelonggaran yang dilakukan Pemerintah Kota Makassar, sehingga kita agak kesulitan juga," kata Nurdin dalam diskusi yang disiarkan BNPB Indonesia, Rabu, 10 Juni.
BACA JUGA:
Nurdin bilang, penanganan COVID-19 di Makassar terkendali karena kurangnya koordinasi pemerintah kota. Sebab, ada pergantian kepemimpinan di Kota Makassar dan baru pada 13 Mei lalu diisi oleh Pj Wali Kota Makassar Iqbal Suhaeb.
"Padahal, kita berharap, karena Makassar ini karena epicentrum penularan utama, kita ingin penanganan lebih cepat lagi. Tapi, karena kemarin itu ada pergantian pejabat wali kota, jadi ada miskomunikasi dalam penentuan kebijakan," jelas Nurdin.
Selain itu, muncul masalah baru, yakni spanduk bertuliskan penolakan rapid test COVID-19 di Makassar. Hal ini dikhawatirkan akan memprovokasi masyarakat menjadi tidak mempercayai pemerintah dalam penanganan COVID-19.
"Tapi, alhamdulillah saat ini teman-teman Polda Sulsel terus bekerja keras menemukan orang-orang yang provokasi yang tidak mendukung, tutur Nurdin.
Oleh sebab itu, saat ini Pemprov Sulawesi Selatan akan menggencarkan edukasi kepada masyarakat untuk terus menerapkan protokol pencegahan COVID-19. Kedua, pemerintah akan terus aktif melakukan penelusuran kontak secara masif untuk mencari orang terinfeksi COVID-19.
"Kami bersyukur kami mampu meningkatkan kapasitas laboratorium kita dari kapasitas 350 spesimen per hari jadi sekarang udah bisa kita capai 800 per hari," tutur dia.
Kemudian, Nurdin akan membuat landasan hukum yang mengatur masyarakat agar bisa produktidf dan aman dari COVID-19. "Kita tidak bisa menganggap enteng persoalan ini. Vaksinnya belum kita temukan, obatnya belum ada, sehingga kita harus terus mendorong masyarakat lebih menjaga diri," tutup dia.