Bagikan:

JAKARTA - Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia selalu memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Namun, dua tahun belakangan anak-anak di Nusantara masih diselimuti keprihatinan akibat pandemi COVID-19. 

Terlebih pada Juli 2021 ini, kasus COVID-19 di Tanah Air angkanya terus melonjak, tercatat per Minggu, 18 Juli, kasus baru bertambah 44.721.

Seiring peningkatan kasus COVID-19, angka kematian juga mengalami peningkatan. Total kumulatif kasus COVID-19 yang ditemukan di Indonesia sejak Maret 2020 hingga Selasa, 20 Juli, berjumlah 2.950.058 kasus. Dari jumlah tersebut, yang meninggal dunia sebanyak 76.200 orang. 

“Jumlah itu menggambarkan bahwa tidak sedikit anak-anak Indonesia yang kehilangan ayah atau ibunya, bahkan kehilangan keduanya karena meninggal akibat sakit COVID-19," ujar Komisioner KPAI, Retno Listyarti, Kamis, 22 Juli.

Menurut Retno, pandemi COVID-19 ini tidak hanya dilihat dari sisi angka-angka statistik saja. Tapi, ada sisi manusiawi lain yang juga harus mendapat perhatian, yaitu dampak langsung pada yang sakit dan keluarga, khususnya anak-anak. 

“Pandemi COVID-19 telah muncul sebagai krisis atas hak anak. Anak-anak kehilangan orang tua dan pengasuhnya karena virus COVID-19, membuat mereka sangat rentan dan tanpa pengasuhan orang tua," ungkap Retno.

Merujuk pada kasus COVID-19 di India per 5 Juni 2021 usai lonjakan, sebanyak 3.632 anak menjadi yatim piatu karena kedua orangtuanya meninggal akibat COVID-19. Sementara, 26.176 anak yang kehilangan salah satu orangtuanya. 

Kebanyakan dari mereka meninggal saat peningkatan kasus dan kematian di India pada April hingga Mei 2021. Saat ini, dikabarkan pemerintah India menyediakan anggaran amat besar untuk kehidupan anak-anak ini.

 

Pemerintah India telah mengumumkan langkah-langkah untuk membantu anak-anak tersebut. Salah satunya, bantuan uang senilai 1 juta rupee (setara dengan Rp 195 juta), yang akan diberikan kepada setiap anak sebagi tunjangan, dari usia 18 hingga 23 tahun. 

 

"Dana tersebut diberikan melalui skema PM-CARES,” jelas Retno. 

Selain dari pemerintah pusat, pemerintah negara bagian di India juga telah mengumumkan berbagai inisiatif untuk membantu anak-anak yang kehilangan orang tuanya akibat pandemi. 

“COVID-19 ini bukan hanya masalah kesehatan masyarakat, dan bukan hanya tentang dampak sosial ekonomi, tetapi ini adalah masalah mendasar kemanusiaan. Jadi perlu penanganan yang manusiawi, berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan terbaik bagi anak," kata Retno.

 

Data serupa, lanjut Retno, bisa saja menimpa anak-anak Indonesia pasca lonjakan kasus COVID-19 di Tanah Air pada dua bulan terakhir. Untuk itu, KPAI memberikan beberapa rekomendasi untuk melindungi anak-anak Indonesia yang kehilangan kedua orangtuanya.

"Tentu saja negera harus hadir, baik atas nama pemerintah pusat maupun pemerintah daerah," tutur Retno.

Pertama, KPAI mendorong adanya penelusuran dan pemilahan data oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dari 76.200 orang pasien COVID-19 yang meninggal per 20 Juli, berapa orang yang dalam usia produktif, berapa yang menjadi tulang punggung keluarga, berapa jumlah anak yang dimiliki dan berapa usianya. 

Kedua, KPAI mendorong pemilahan data yang lebih rinci terkait jumlah anak-anak yang kehilangan salah satu atau kedua orangtuanya.

 

"Harus dilakukan pemetaan wilayah domisilinya anak-anak tersebut agar penanganannya melibatkan pemerintah daerah secara langsung, dalam hal ini bisa mengaktifkan peran Dinas Dukcapil setempat dengan dasar Kartu Keluarga yang diperbaharui karena ada keluarga yang meninggal," jelas Retno.

Ketiga, KPAI mendorong pemerintah daerah memastikan pemenuhan hak anak-anak yang kehilangan orangtuanya tersebut. Seperti pemenuhan keberlangsungan hak atas pendidikan, pengasuhan oleh keluarga terdekat, kesehatan, dan sebagainya. 

 

Penanganan ini, kata dia, tentu memerlukan kehadiran negara serta dukungan APBN dan APBD demi kelangsungan hidup dan masa depan anak-anak yang masih di bawah umur.

 

"Pengasuhan anak yang kehilangan orangtunya akibat COVID-19, harus dipastikan pengasuhannya dilakukan oleh kerabat/keluarga besar mereka, Panti asuhan seharusnya menjadi pilihan terakhir," kata Retno.

 

Keempat, KPAI mendorong adanya kesadaran publik melalui media massa dan kampanye media sosial terkait proses hukum dalam hal adopsi. Kemungkinan, menurut Retno, sebagaimana dampak bencana alam, kerap banyak muncul permohonan untuk mengadopsi anak-anak yatim piatu yang beredar di media sosial. 

 

"Hal ini membuat anak-anak rentan terhadap perdagangan dan pelecehan anak. Selain itu, banyak anak yang juga memerlukan konseling untuk mengatasi kesedihan dan trauma mereka," jelasnya.

Kelima, KPAI mendorong pengetatan pembatasan sosial seiring kasus yang terus meningkat. Kasus sudah meningkat berkali-kali lipat, maka kegiatan pembatasan sosial juga harus lebih ketat lagi.

 

"Pengetatan secara nyata harus dilakukan agar jangan sampai terus jatuh korban, agar anak-anak terlindungi dan tidak bertambah lagi anak-anak di bawah umur yang kehilangan salah satu atau malah kedua orangtuanya," demikian Retno.