Kajian Indef Buktikan Indonesia Belum Bisa Lakukan Pelonggaran PSBB
Ilustrasi. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Hasil kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menunjukan bahwa Indonesia belum dapat menerapkan relaksasi atau pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah memperketat PSBB.

Salah satu tim peneliti, Muhammad Yoga Permana mengatakan, akan ada penurunan laju positif COVID-19 kalau pemerintah Indonesia melakukan pengetatan PSBB selama satu bulan.

"Apalagi di provinsi lain yang bukan episentrum, dengan pengetatatan akan bisa kita tekan sampai nol positif. Jika yang dilakukan PSBB parsial (saat ini), tidak akan ada perubahan. Apabila dilonggarkan akan sangat berbahaya. Akan meningkat 12 ribu kasus selama satu bulan ke depan," tutur Yoga, dalam video conference bersama wartawan, Selasa, 2 Juni.

Adapun rincian dari 12 ribu kasus tersebut, pertama adalah skenario jika PSBB diperketat, maka penambahan kasus total di angka 0-1.735 kasus. Di Jakarta jumlahnya 0-518. Sedangkan, Jatim sebagai daerah penyebaran baru, yakni 0-124.

Jika yang dilakukan pemerintah adalah PSBB parsial (kondisi saat ini), maka penambahan kasus total 3.670-6.323. Di Jakarta jumlahnya 1.614-2.085 kasus. Sementara, Jatim 372-663 kasus.

"Kasus kematian 360 orang selama 1 bulan atau 30 hari ke depan," katanya.

Namun, lanjut Yoga, jika pelonggaran PSBB diberlakukan pemerintah maka penambahan kasus mencapai 8.224-12.633. Di Jakarta 3.160-12.633, sedangkan Jatim 878-1.375 dan kasus kematian 724 orang.

"Jika kita bandingkan pergerakan masyarakat vs transmisi kasus skenario dan realita, ternyata data realita menunjukan data hari ini (2 Juni) dari 15 hari yang lalu itu sudah hampir 10 ribu kasus. Seharusnya kita miris. Kalau kita ramalkan 30 hari ke depan akan lebih tinggi. Ini baru 15 hari dan sudah masuk ke indikator pelonggaran PSBB," jelasnya.

Yoga mengatakan, meksipun pemerintah belum memutuskan untuk melakukan relaksasi atau pelonggaran, tetapi sudah dapat disimpulkan 15 hari ini, PSBB sudah longgar dengan sendirinya.

"Tidak dilonggarkan saja sudah longgar apalagi ketika keputusan itu diambil. Kita masih konsisten belum bisa mengendalikan kasus kematian 6 persen dari kasus positif," tuturnya.

Kapan Pemerintah Menerapkan Relaksasi PSBB?

Yoga mengatakan, kajian yang dilakukan Indef bersama dengan peneliti dari berbagai latar belakang kesehatan, ekonomi, politik maupun yang lainnya menunjukan bahwa Indonesia belum bisa untuk menerapkan pelonggaran PSBB.

"Tidak sekarang. Justru harus diperketat. Data empiris menunjukan PSBB justru semakin longgar. Jangan sampai kita atau pemerintah menjadi latah ketika negara lain sudah melakukan pelonggaran. Indonesia masih jauh jika mau melakukan pelonggaran. Kita berbahaya," tuturnya.

Menurut Yoga, negara lain yang juga sudah menerapkan relaksasi atau pelonggaran juga mendapat kritik dari warga negaranya. Salah satunya adalah Korea Selatan, meski kenaikan jumlah kasusnya hanya 1 persen, namun muncul gelombang kedua penyebaran COVID-19.

"Singapura juga berbahaya kemarin dikritik. Jika mau melakukan relaksasi harus berbasis kajian yang jelas. Kajian kami mengatakan Indonesia belum bisa melakukan itu," jelasnya.

Seperti diketahui, wacana pelonggaran PSBB menyeruak. Apalagi hingga saat ini, belum ada rencana perpanjangan ataupun pengetatan PSBB, justru yang ada adalah wacara penerapan kenormalan baru.

Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu mengatakan, pemerintah belum memutuskan pelonggaran PSBB di masa pagebluk virus corona atau COVID-19 saat ini. Kata dia, pemerintah sudah membuat skenario soal pelonggaran itu, namun pelaksanaannya belum diputuskan karena masih menunggu waktu yang tepat.

"Saya ingin tegaskan bahwa belum ada kebijakan pelonggaran PSBB. Karena jangan muncul nanti, keliru ditangkap masyarakat bahwa pemerintah melonggarkan PSBB. Belum. Jadi belum ada kebijakan pelonggaran PSBB," kata Jokowi.

Dalam menentukan keputusan pelonggaran ini, kata dia, pemerintah terus memantau kondisi di tengah masyarakat dan data yang ada mengenai penyebaran COVID-19 di Indonesia. "Biar semuanya jelas karena kita harus hati-hati jangan keliru memutuskan," tegas dia.