Bagikan:

JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tercatat terus mengalami penguatan. Akhir pekan ini, satu dolar AS setara Rp 13.878. Sejumlah faktor disebut mempengaruhi keperkasaan mata uang Garuda.

Antara lain, kebijakan Bank Indonesia yang direspon positif oleh pasar. Kemudian, adanya pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di masa pagebluk COVID-19.

Namun, hal itu ditepis oleh Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira. Menurut dia, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS karena diuntungan aksi demonstrasi besar-besaran di negeri paman sam itu. Demonstrasi dipicu kematian pria kulit hitam George Floyd.

"Rupiah diuntungkan dengan adanya demonstrasi besar-besaran di AS, efek sengketa AS dan China terkait masalah Hongkong, dan ancaman Donald Trump untuk keluar dari WHO," kata Bhima kepada VOI Sabtu 6 Juni.

Kemudian, situasi geopolitik yang saat ini tidak menentu dengan epicentrum AS. Sehingga para pelaku pasar global mulai meninggalkan dolar AS. Berdasarkan data, dolar index tercatat terkoreksi sebesar -1,87% dalam sepekan terakhir menjadi level 96,5. 

"Dollar index adalah perbandingan dollar AS dengan 6 mata uang negara lain termasuk euro dan yen Jepang," kata dia.

Pelaku pasar global yang meninggalkan dolar AS, kata dia, menginvestasikan uangnya ke negara berkembang. Sehingga tidak bisa dipungkiri dolar akan melemah.

"Jadi masih terlalu dini sentimen positif rupiah karena faktor dalam negeri seperti pelonggaran PSBB," kata dia.