Bagikan:

JAKARTA - Untuk pertama kalinya dalam beberapa dasawarsa terakhir, demonstrasi besar-besaran terjadi di Kuba, menyerukan kebebasan dan menuntut Presiden Miguel Diaz-Canel mundur, dalam protes jalanan dari Havana ke Santiago, Minggu 11 Juli waktu setempat.

Protes meletus di tengah krisis ekonomi dan rekor lonjakan infeksi virus corona, sementara penduduk mengeluhkan kurangan kebutuhan pokok, pembatasan serta penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintah. 

Ribuan orang turun ke jalan di berbagai bagian Havana termasuk pusat bersejarah, teriakan mereka 'Diaz-Canel mundur' menenggelamkan kelompok pendukung pemerintah yang mengibarkan bendera Kuba dan meneriakkan 'Fidel'.

Jip pasukan khusus, dengan senapan mesin terpasang di bagian belakang terlihat di seluruh ibu kota dan kehadiran polisi sangat padat bahkan lama, setelah sebagian besar pengunjuk rasa membubarkan diri pada pukul 9 malam waktu setempat, seiring dengan pemberlakuan jam malam selama pandemi.

"Kami sedang melalui masa-masa yang sangat sulit. Kami membutuhkan perubahan sistem," Miranda Lazara, 53, seorang guru tari, yang bergabung dengan ribuan pengunjuk rasa di Havana, mengutip Reuters Senin 12 Juli.

Diaz-Canel, yang juga mengepalai Partai Komunis, menyalahkan kerusuhan itu pada musuh lama Perang Dingin, Amerika Serikat (AS), yang dalam beberapa tahun terakhir memperketat embargo perdagangannya yang telah berlangsung puluhan tahun, dalam pidato yang disiarkan televisi pada Minggu sore.

Diaz-Canel mengatakan, banyak pengunjuk rasa tulus tetapi dimanipulasi oleh kampanye media sosial yang diatur AS dan tentara bayaran di lapangan, seraya memperingatkan provokasi lebih lanjut tidak akan ditoleransi, menyerukan pendukungnya untuk menghadapi provokasi.

tenaga medis kuba
Ilustrasi bantuan tenaga medis Kuba untuk penanganan COVID-19 di Barbados. (Wikimedia Commons/PMO Barbados)

Presiden Kuba akan menyampaikan pidato lain kepada negara pada pukul 9 pagi pada Hari Senin waktu setempat, menurut media yang dikelola pemerintah.

Julie Chung, penjabat wakil sekretaris Kantor Urusan Belahan Barat Departemen Luar Negeri AS, mengatakan sangat prihatin dengan seruan untuk berperang” di Kuba dan mendukung hak rakyat Kuba untuk berkumpul secara damai.

Di Havana, pasukan keamanan, dibantu oleh tersangka petugas berpakaian preman, menangkap sekitar dua lusin pengunjuk rasa. Polisi menggunakan semprotan merica dan memukul beberapa pengunjuk rasa serta seorang fotografer yang bekerja untuk Associated Press.

Sementara itu, pengunjuk rasa melampiaskan kemarahan mereka pada mobil polisi yang kosong, menggulingkannya dan kemudian melemparkan batu ke arahnya. Di tempat lain, mereka meneriakkan "penindas" pada polisi anti huru hara.

Beberapa pengunjuk rasa mengatakan, mereka turun ke jalan untuk bergabung setelah melihat apa yang terjadi di media sosial, yang telah menjadi faktor yang semakin penting sejak diperkenalkannya internet seluler dua setengah tahun lalu, meskipun koneksi tidak stabil.

Terpisah, asisten profesor sejarah Amerika Latin di Florida International University Michael Bustamante menyebut, demonstrasi anti-pemerintah kali ini adalah yang terbesar sejak musim panas 1994.

"Hanya sekarang, mereka tidak terbatas pada ibu kota. Mereka bahkan tidak mulai dari sana, sepertinya," tukas Bustamante.

Diketahui, Kuba mengalami krisis ekonomi yang memburuk selama dua tahun terakhir, dengan pemerintah menyalahkan sanksi AS, sementara oposisi menyebut sebagai dampak sistem satu partai gaya Uni Soviet. Kombinasi sanksi, inefisiensi, dan pandemi telah menutup pariwisata dan memperlambat eknomi Kuba.

Sementara, terkait penanganan COVID-19, Kuba telah memulai kampanye vaksinasi COVID_19 massal, dengan 1,7 juta dari 11,2 juta penduduknya divaksinasi hingga saat ini, dua kali lebih banyak yang telah menerima setidaknya satu suntikan.

Namun, kedatangan varian Delta telah mendorong kasus infeksi melonjak, dengan otoritas kesehatan melaporkan rekor 6.923 kasus dan 47 kematian pada hari Minggu. Total Kuba mencatata 238.491 kasus infeksi dengan 1.537 kematian dan 204.810 sembuh dari COVID-19, mengutip data Worldometers.