Program Pencegahan Korupsi yang Digaungkan Firli Bahuri Malah Dianggap Tak Efektif
Gedung KPK (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sejak dipimpin oleh Firli Bahuri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap mengutamakan pencegahan terhadap praktik rasuah. Hanya saja, program ini justru dianggap tak efektif oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2020, BPK menyebut pelaksanaan pencegahan korupsi yang dilakukan KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri tidak efektif karena terdapat sejumlah permasalahan.

"Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa efektivitas pengelolaan funsi pencegahan korupsi dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan tipikor belum sepenuhnya efektif," demikian dikutip dari laporan yang diunduh dari situs resmi BPK, Senin, 12 Juli.

Sejumlah permasalahan yang menghambat efektivitas tersebut, salah satunya adalah perubahan peraturan KPK yang belum sepenuhnya mendukung tugas dan fungsi koordinasi bidang pencegahan dan pengelolaan atas benda sitaan dan barang rampasan.

Aturan yang dimaksud adalah Peraturan KPK (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja (Ortaka) yang belum didukung kajian, analisis, dan penyelarasan yang memadai.

Selain itu, ada juga tugas dan fungsi yang tak diatur dalam peraturan tersebut. Di antaranya adalah kewenangan dan unit kerja pelaksana tugas koordinasi pencegahan KPK, tugas dan fungsi Direktorat Pelacakan Aset Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi), pelaksana fungsi pengembangan aplikasi sistem informasi dan data Direktorat Labuksi, serta uraian pekerjaan atau job description terkait pengelolaan titipan uang sitaan dan uang gratifikasi. 

"Akibatnya, upaya untuk memperkuat fungsi pencegahan dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan berpotensi tidak dapat dilaksanakan secara efektif, serta potensi tidak terlaksananya payung hukum yang dapat menjadi dasar pelaksanaan kegiatan," tulis laporan tersebut.

Masalah lainnya, kata BPK, berkaitan dengan upaya pencegahan korupsi melalui fungsi koordinasi dan monitoring pada kegiatan Monitoring Center for Prevention (MCP) yang belum dilaksanakan secara memadai. Dukungan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan fungsi koordinasi dan monitoring pencegahan korupsi juga dianggap masih belum optimal.

Lebih lanjut, BPK juga menyebut proses nyusunan indikator dan subindikator serta pembobotan nilai area intervensi pencegahan korupsi pada tata kelola pemerintah daerah belum memadai. Penyebabnya, pelibatan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah sebagai stakeholder masih belum maksimal

Berikutnya, badan ini menilai penerapan pedoman kegiatan monitoring pencegahan korupsi pada tata kelola pemerintah daerah belum sepenuhnya konsisten. 

Hal itu kemudian berakibat pada kegiatan MCP oleh Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) yang belum optimal dalam mendukung upaya pencegahan korupsi.

Dalam laporan tersebut, BPK juga melaporkan masalah lain pada pelaksanaan fungsi penindakan dan eksekusi yang belum mendukung pengelolaan benda sitaan, barang rampasan, dan benda sita eksekusi secara memadai. 

Masalah ini, kata BPK, ditemukan di antaranya pada Direktorat Penyelidikan yang belum optimal dalam melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan benda atau barang titipan yang masih dikuasai oleh satgas mereka.

Direktorat Penyelidikan dan Direktorat Labuksi juga belum menyusun dan menetapkan SOP yang mengatur mekanisme rekonsiliasi data Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti (STPBB). Tak sampai situ, komisi antirasuah juga belum memiliki fasilitas penyimpanan brang bukti yang memadai. 

Akibatnya, tujuan pengembangan aplikasi SINERGI untuk mendukung pengelolaan data dan informasi administrasi penindakan secara lengkap, terintegrasi, mutakhir dan akurat belum tercapai. Hal ini membuat pelaksanaan benda atau barang titipan di tahap penyelidikan jadi belum terukur dan tak dapat dievaluasi kinerjanya secara akurat serta pelaksanaannya dilakukan dengan standar prosedur yang tidak konsisten.

"Sehingga informasi barang titipan dalam tahap penyelidikan jadi kurang akurat dan transparan," ujar laporan tersebut.

KPK anggap penilaian tak tepat

Meski menghormati laporan yang disampaikan oleh BPK tapi komisi antirasuah menganggap tidak tepat jika efektivitas pencegahan korupsi tidak efektif hanya diambil dari unit tertentu.

"Kurang tepat jika menyimpulkan efektivitas upaya pencegahan KPK hanya dengan sampel dari unit Korsupgah," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati kepada wartawan.

Dia lantas menjelaskan audit yang dilakukan BPK tersebut memang berdasarkan permintaannya agar dapat terus meningkatkan kinerja di bidang pencegahan. Awalnya, KPK hanya meminta audit untuk unit kerja Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi).

Tapi belakangan, KPK berinsiatif memperluas audit kerja termasuk pada Kedeputian Pencegahan. Hal ini dilakukan agar KPK mendapatkan penilaian yang objektif dari pihak lain tentang kinerja fungsi pencegahan yang dilakukan oleh Direktorat LHKPN, Gratifikasi, Litbang, Dikyanmas, dan Korsupgah.

Hasilnya, saat itu KPK mendapatkan tiga rekomendasi dan telah ditindaklanjuti. Rekomendasi tersebut adalah penyempurnaan peraturan komisi (perkom) nomor 7 tahun 2020, menyusun SOP terintegrasi terkait penetapan dan perubahan area intervensi, indikator dan sub indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) Korsupgah, pelaksanaan monev serta penilaian dan menetapkan SOP yang mengatur mekanisme pengelolaan benda titipan.

Terhadap rekomendasi perbaikan Perkom 7 tahun 2020, kata Ipi, saat ini sedang berjalan. Dia mengatakan, penyempurnaan atas aturan tersebut telah dipitusakan dalam rapat evaluasi KPK atas audit kinerja pada April 2021. 

Selain itu, KPK juga telah melakukan penandatanganan perjanjian kerjasama antara Deputi Korsup dengan Deputi Bidang Akuntan Negara dan Deputi Pengawasan Bidang Penyelenggaraan Keuangan Daerah BPKP. Antara lain untuk pengelolaan MCP melalui perwakilan BPKP di 34 provinsi. 

Selain itu, KPK sedang memproses pengelolaan 8 elemen MCP bersama 6 unit eselon 1 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), 2 unit eselon 1 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta 34 Kantor Perwakilan BPKP.

"Sesuai amanah undang-undang, KPK akan terus mengintensifkan pelaksanaan tugas pencegahan, koordinasi, dan monitoring baik di tingkat pusat maupun daerah dengan melibatkan segenap mitra pemangku kepentingan," pungkasnya.