Perang Kritik Trump dan Wali Kota Washington soal Aksi Protes Kematian George Floyd
Presiden AS, Donald Trump. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump dan Wali Kota Washington D.C. Muriel Bowser adu kritik lewat akun Twitter masing-masing soal aksi demonstrasi kematian George Floyd.

Kematian Floyd pada hari Senin, 25 Mei lalu di Minneapolis telah memicu demonstrasi, beberapa di antaranya kekerasan di banyak kota di seluruh negara. Pada Jumat, 29 Mei, Gedung Putih yang berada di kota Washington DC dikunci karena dirundung ratusan orang pendemo.

Dalam cuitannya pad Sabtu, 30 Pagi, Trump mengapresiasi kerja pasukan pengaman khusus Secret Service yang melindungi Gedung Putih dari aksi demonstrasi para pemrotes. Sebab, Trump akan mengeluarkan anjing ganas dan senjata berbahaya jika mereka berhasil membobol pagar Gedung Putih.

"Jika mereka melakukan itu (menembus pagar), mereka akan disambut dengan anjing-anjing yang paling ganas, dan senjata yang paling tidak menyenangkan, yang pernah saya lihat. Saat itulah orang-orang akan terluka parah, seandainya jika terjadi," kata Trump, Sabtu, 30 Mei.

Dalam cuitan selanjutnya, Trump menyindir Wali Kota Washington D.C. Muriel Bowser. Trump menyayangkan Bowser tak mengeluarkan aparat keamanan kota untuk membantu mengamankan Gedung Putih.

"Di sisi buruknya, Walikota D.C. @MurielBowser, yang selalu mencari uang dan bantuan, tidak membiarkan D.C. Polisi terlibat (membantu Gedung Putih). 'Bukan pekerjaan mereka,' Bagus!" sebut Trump.

Cuitan itu ditanggapi di akun Twitter Bowser. Wali Kota yang pilihan politiknya berseberangan dengan Trump tersebut menganggap tak akan ada anjing ganas dan senjata yang tidak menyenangkan, yang ada hanyalah pria yang sedang takut.

"Ketika dia (Trump) bersembunyi di balik pagar dengan takut atau sendirian, saya berdiri dengan orang-orang secara damai melakukan Amandemen Pertama mereka Tepat setelah pembunuhan #GeorgeFloyd dan ratusan tahun rasisme yang dilembagakan," kata Bowser.

Kematian George Floyd dan Rasisme

Insiden terbunuhnya seorang warga kulit hitam George Floyd karena diduduki oknum aparat kepolisian mempertajam isu rasisme di Amerika Serikat. Insiden yang terjadi di Minneapolis membuat ratusan warga kulit hitam turun ke jalan untuk menggelar aksi unjuk rasa. Buntutnya, empat polisi yang terlibat kejadian itu dipecat.

Semuanya bermula ketika dua petugas kepolisian Minneapolis mendekati kendaraan yang diparkir di blok 3700 Chicago Avenue South. Menurut rekaman CCTV dari sebuah toko yang diterima The Washington Post, mereka terlihat menghampiri si pengemudi yang diketahui bernama George Floyd. Salah satu aparat itu kemudian memborgol tangan Floyd dan menduduki lehernya.

Banyak warga yang menyaksikan peristiwa itu. Salah satunya Darnella Frazier, orang yang merekam kejadian itu dan menyebarkannya di Facebook.

Ketika semakin banyak orang yang menyaksikan kejadian itu, Floyd mulai merintih kesakitan. Menurut kesaksian Frazier dalam videonya yang lain dijelaskan, wajah pria itu ditekan begitu keras sampai hidungnya berdarah.

"Kamu hanya akan duduk di sana dengan lutut di lehernya?" tanya seorang saksi kepada polisi tersebut.

Beberapa menit kemudian, pria itu tampak tidak bergerak, matanya terpejam dan kepalanya terkulai di jalan. Pria yang sudah tidak sadarkan diri itu ditandu ke dalam ambulans. Orang-orang yang masih berada di tempat kejadian itu bilang ke dua orang polisi tersebut bahwa insiden itu akan menghantui mereka selama sisa hidup mereka.

Usut punya usut polisi menindak lanjuti laporan terkait kasus pemalsuan yang diduga dilakukan oleh Floyd. Menurut pengakuan polisi ia terpaksa dilumpuhkan karena melakukan perlawanan.

Tapi informasi itu masih sumir. Sementara itu Kepala Kepolisian Minneapolis, Medaria Arradondo meminta FBI untuk menyediliki kasus lebih lanjut.

Kejadian itu menyulut ratusan orang untuk berkumpul di sepanjang tempat kejadian perkara (TKP) dan melakukan aksi unjuk rasa. Kerumunan orang itu kemudian melakukan aksi long march ke markas kepolisian setempat.

Di depan markas kepolisian itu demonstran kemudian bentrok dengan polisi. Gas air mata ditembakkan untuk membubarkan massa.