Perang Lawan Twitter, Donald Trump Bikin Medsos Tak Lagi Kebal Hukum
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sepertinya tak main-main dengan ancamannya pada Twitter. Trump dikabarkan telah menandatangani perintah eksekutif yang bertujuan untuk mempersempit perlindungan konten pada media sosial tersebut.

Diwartakan CNN, Jumat 29 Mei, Trump mengatakan, langkah itu diambil untuk mempertahankan kebebasan berbicara, dari salah satu bahaya paling mengerikan yang telah dihadapi dalam sejarah Amerika.

Hal ini berawal saat Twitter melabeli fitur pemeriksaan fakta pada dua tweet Trump, termasuk yang mengklaim, tanpa bukti, bahwa surat suara akan menyebabkan penipuan pemilih yang meluas. Trump segera membalas, dan menuduh Twitter telah melakukan sensor.

Ia juga memperingatkan, jika terus melabeli tweetnya, ia akan menggunakan kekuatan pemerintah federal untuk mengendalikannya atau bahkan menutup layanan micro blogging tersebut.

Namun, kritikus AS berpendapat bahwa peristiwa itu adalah pengalihan sebuah isu ketika negara tersebut melewati angka 101.000 kematian karena COVID-19. Pemerintahan Trump pun dianggap tak mampu menangani krisis pandemi ini.

"Saat ini, raksasa media sosial seperti Twitter menerima perisai kelangsungan hidup yang belum pernah terjadi sebelumnya berdasarkan teori bahwa mereka bukan platform netral. Kami muak dengan itu. Itu tidak adil, dan itu sangat tidak adil," ungkap Trump.

Sebelumnya, isi dari peraturan Section 230 dari Undang-Undang Keterbukaan Komunikasi, para perusahaan teknologi saat ini memiliki kekebalan yang luas dari tuntutan hukum perdata yang berasal dari apa yang diunggah oleh pengguna karena mereka dianggap sebagai "platform" bukan "penerbit."

Kendati demikian, Trump akhirnya membuat aturan baru yang akan membatasi kekebalan itu. Kemungkinan Twitter juga akan menghadapi tantangan hukum.

“Mereka memiliki kekuatan yang tidak diawasi untuk menyensor, membatasi, mengedit, membentuk, menyembunyikan, mengubah hampir semua bentuk komunikasi antara warga negara atau audiensi publik yang besar. Tidak ada preseden dalam sejarah Amerika untuk sejumlah kecil korporasi mengendalikan begitu besar ruang interaksi manusia," imbuh Trump.

Menanggapi hal ini, Twitter mengatakan bahwa perintah eksekutif dari Trump ini merupakan, "Pendekatan reaksioner dan terpolitisasi terhadap hukum landmark. Section230 melindungi inovasi dan kebebasan berekspresi Amerika, dan didukung oleh nilai-nilai demokrasi. Upaya untuk mengikis secara sepihak itu mengancam masa depan kebebasan berbicara dan internet."

Banyak dari sektor bisnis dan teknologi berpendapat bahwa perintah itu dapat mengekang kebebasan berbicara di internet dan itu bertentangan dengan hukum yang ada, dan hanya dapat diubah oleh Kongres, bukan presiden.

Misalnya saja juru bicara Google, Riva Sciuto yang beranggapan bahwa langkah Trump dapat merugikan sektor ekonomi Amerika.

"Platform kami telah memberdayakan berbagai macam orang dan organisasi dari seluruh spektrum politik, memberi mereka suara dan cara baru untuk menjangkau audiens mereka. Melemahkan Bagian 230 dengan cara ini akan merugikan ekonomi Amerika dan kepemimpinan globalnya pada kebebasan internet," kata Sciuto.