Buntut Equity Life, Pengamat Nilai Aturan Klasifikasi Perusahaan Esensial-Nonesensial PPKM Darurat Tak Jelas
Ilustrasi-Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Kantor Equity Life (Foto: Instagram @aniesbaswedan)

Bagikan:

JAKARTA - Inspeksi dadakan (sidak) yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta kemarin lusa menimbulkan polemik. Anies memberi sanksi kepada PT Equity Life Indonesia karena melanggar aturan PPKM Darurat.

Namun, PT Equity Life mengklaim bahwa mereka merupakan perusahaan sektor esensial karena bergerak di bidang asuransi. Itu sebabnya Equity Life masih meminta sejumlah pegawainya untuk bekerja di kantor atau work from office (WFO).

Dalam aturan PPKM darurat, perusahaan esensial memang masih diperbolehkan WFO dengan kapasitas 50 persen pegawai di kantor. Lalu, perusahaan sektor kritikal diperkenankan beroperasi 100 persen. Dengan catatan, perusahaan harus menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Ternyata, Equity Life salah tanggap bahwa mereka diberi sanksi karena jenis perusahaannya. Pemprov DKI mengakui perusahaan Equity Life masuk dalam kategori esensial, namun sanksi yang diberikan akibat pelanggaran protokol kesehatan terkait jaga jarak interaksi antar pekerja.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menganggap masalah ini terjadi akibat penyusunan klasifikasi perusahaan yang tak jelas dalam aturan PPKM Darurat.

"Penjelasan yang ada di dalam Instruksi Mendagri maupun peraturan kepala daerah hanya menyebutkan sektor secara garis besarnya saja. Semestinya ketentuannya mesti definitif," kata Trubus kepada VOI, Kamis, 8 Juli.

Trubus menuturkan, mestinya ada tiga faktor yang harus dipenuhi dalam pembuatan kebijakan publik. Pertama, substansi dari kebijakan aturan yang jelas. Kedua, pemahaman struktur aturan dari penegak hukum. Ketiga, kedisiplinan masyarakat.

Trubus menganggap, faktor substansi dalam aturan PPKM Darurat tidak cukup menjelaskan perusahaan mana saja yang masuk dalam sektor esensial, kritikal, dan di luar sektor itu.

"Itu akibat tidak hitam-putihnya masalah esensial, kritikal, nonesensial, dan nonkritikal. Tidak jelas batasannya seperti apa," ungkap dia.

"Walau secara logika bisa diklasifikasi, tetapi persoalannya di lapangan enggak mudah memisahkan antara yang esensial dan nonesensial. Misalnya, untuk perusahaan jenis turunan yang tak dijelaskan dalam aturan," tambahnya.

Diketahui, dalam aturan yang dibuat, pemerintah mewajibkan WFH 100 persen untuk perusahaan nonesensial selama PPKM Darurat. Lalu, perkantoran sektor esensial diberlakukan 50 persen maksimum pegawai work from office (WFO) dengan protokol kesehatan dan untuk sektor kritikal diperbolehkan 100 persen maksimum pegawai WFO dengan protokol kesehatan.

Cakupan sektor esensial yang disebutkan adalah keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan nonpenanganan karantina COVID-19, serta industri orientasi ekspor.

Cakupan sektor kritikal adalah energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan, minuman dan penunjangnya, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (seperti listrik dan air), serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari.