Bertentangan dengan Ahli Medis, Brasil Tetap Gunakan Obat Anti-Malaria untuk COVID-19
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Kesehatan Brasil mengeluarkan pedoman baru dalam penggunaan obat-obatan anti-malaria yang lebih luas untuk mengobati orang-orang yang terjangkit COVID-19 ringan. Pengobatan yang sebelumnya digembar-gemborkan Presiden Brasil Jair Bolsonaro tersebut bertentangan dengan para ahli kesehatan masyarakat yang memperingatkan kemungkinan risiko kesehatan lainnya.

Dilansir dari Reuters, Kamis 21 Mei, Menteri Kesehatan (Menkes) sementara Brasil, Eduardo Pazuello, mengesahkan protokol baru yang merupakan hasil modifikasi dari pedoman sebelumnya. Pazuello merupakan seorang jenderal angkatan darat aktif yang menggantikan dua menkes sebelumnya yang berprofesi sebagai dokter. Keduanya mundur dari posisi menkes akibat tekanan untuk mempromosikan penggunaan chloroquine dan hydroxychloroquine.

Para ahli medis, termasuk direktur penyakit menular di Pan American Health Organisation, Marcos Espinal, memperingatkan bahwa penelitian menunjukkan obat-obat tersebut berpotensi berbahaya dalam mengobati virus corona jenis baru.

Bolsonaro mendorong penggunaan obat-obatan chloroquine dan hydroxychloroquine dengan sekutu ideologisnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Trump sendiri pada minggu ini mengatakan bahwa ia mengonsumsi hydroxychloroquine secara preventif meskipun ada peringatan dari Departemen Makanan dan Obat-obatan AS. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah menegaskan, hydroxychloroquine memiliki efek yang harus diuji klinis terlebih dahulu.

Pedoman Brasil sebelumnya mengutip obat itu sebagai pengobatan yang belum terbukti untuk kasus COVID-19 yang parah. Namun pada pedoman baru, terdapat saran agar menggunaan anti-malaria tersebut bersamaan dengan antibiotik azitromisin pada awal gejala. Pasien atau anggota keluarga harus menandatangani surat pernyataan mengakui jika mereka memiliki potensi efek samping.

Brasil merupakan negara ketiga di dunia yang memiliki kasus COVID-19 terbanyak, dengan 293.357 kasus dan 18.894 di antaranya meninggal dunia. Angka kematian tersebut lebih tinggi dari Ruisa yang mana berada di urutan kedua negara yang memiliki kasus COVID-19 tertinggi. 

Bolsonaro kerap menyebut virus itu adalah demam ringan dan mengklaim bahwa kasus COVID-19 di negaranya menurun. Presiden Brasil khawatir akan adanya permasalahan ekonomi hingga akhirnya melarang segala aturan isolasi yang dikeluarkan oleh pemerintah negara bagian dan rekomendasi para ahli medis.

Menurut survei telepon terhadap 1.000 orang oleh polling Ipespe pada 16-18 Mei, 58 persen orang mengatakan bahwa kinerja Bolsonaro dalam menangani pandemi ini buruk atau mengerikan dan mendapat penilaian bagus hanya 21 persen.