Berbagi Kuasa dalam Proses Pengajuan Nama Calon Duta Besar
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajukan calon duta besar LBBP RI untuk negara sahabat dan organisasi internasional. Ada 33 nama yang diajukan, mulai dari Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman hingga Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani.

Melihat kondisi tersebut, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan pengajuan nama ini merupakan alat berbagi kuasa bagi kelompok oligarki. Apalagi, sejumlah nama yang ada merupakan golongan dalam kelompok tersebut.

"Baru saja agak heboh di berbagai WhatApps Group (WAG) soal bagaimana bagi-bagi jabatan, bahkan untuk jabatan Duta Besar yang baru saja ditunjuk-tunjuk. Ada orang-orang yang merupakan bagian dari oligrki," kata Bivitri dalam diskusi daring yang ditayangkan di YouTube, Minggu, 27 Juni.

Walaupun tak menyebut secara tegas nama-nama yang dimaksud, namun, dirinya mengatakan nama yang masuk ke daftar calon dubes ada berasal dari organisasi pengusaha ataupun dari lembaga manapun. Sehingga nuansa pembagian jabatan begitu kental.

Meski begitu, Bivitri tak kaget dengan praktik semacam ini. Sebab, bagi-bagi jabatan seperti ini juga terjadi di perusahaan pelat merah di mana banyak kelompok oligarki yang duduk sebagai komisaris.

"Ada beberapa di situ yang memiliki perusahaan, organisasi pengusaha dan sebagainya yang dibagi-bagi jabatan itu. Tak hanya dubes, komisaris juga begitu, alat untuk membagi-bagi keuntungan," tegasnya.

Lebih lanjut, Bivitri menjelaskan bahwa karakter kelompok oligarki pada dasarnya tidak pernah puas dengan keuntungan dan kekuasaan yang didapatkan. Mereka ingin mengakumulasi lebih banyak lagi dan mengamankan kekayaan.

Kelompok oligarki yang ada di Indonesia saat ini telah memiliki jaringan yang bagus. Akibatnya mereka merasa nyaman dan ingin melanjutkan status quo dari pemimpin yang berkuasa saat ini. 

Hal ini yang lantas memunculkan wacana perubahan periode jabatan atau perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden yang muncul beberapa waktu belakangan.

"Kita bisa melihat oligarki inilah yang tengah mengontrol pelaksanaan kekuasaan di negara ini. Mereka sudah nyaman, situasi ini menjadi status quo untuk mereka, lebih baik tak diganti (presiden, red). Karena jaringannya sudah rapi," ujarnya.

Adapun proses lanjutan nama-nama yang diajukan sebagai calon duta besar itu akan dilakukan pada pekan kedua Juli mendatang. Nantinya, nama-nama ini akan menjalankan uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test yang digelar oleh Komisi I DPR RI.

Terkait pencalonan ini, Fadjroel mengatakan apapun tugas yang diberikan oleh Presiden Jokowi akan siap dijalankannya. Dia menganggap hal ini sebagai tugas mulia.

"Apa pun tugas negara yang diarahkan Presiden Joko Widodo kepada saya adalah anugerah tak ternilai. Karena tugas negara adalah tugas mulia di mana pun untuk kejayaan negara dan bangsa menuju Indonesia maju," katanya saat dihubungi VOI, Jumat, 25 Juni.

Selain nama Fadjroel dan Rosan Roslani, terdapat nama bekas anggota tim sukses Jokowi saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, seperti Zuhairi Misrawi yang diajukan sebagai calon duta besar untuk Republik Tunisia dan Lena Maryana Mukti yang diajukan sebagai calon duta besar untuk Kuwait.

Kemudian, ada juga nama Rudy Alfonso yang merupakan kader Partai Golkar sekaligus pengacara. Dia diajukan sebagai calon Duta Besar Indonesia untuk Portugal.

Kepada VOI, Rudy berharap dirinya bisa memberikan kontribusi atas kesempatan yang diberikan Jokowi. "Saya baru dicalonkan. Mudah-mudahan kepercayaan bapak Presiden kita bisa memberikan kontribusi," kata Rudy Alfonso kepada VOI, Jumat, 25 Juni malam. 

Bagi Rudy yang sudah malang melintang di dunia advokat ini, kepercayaan dari Presiden Jokowi bukan tugas ringan. Apalagi kondisi pandemi COVID-19 membuat semua orang harus beradaptasi. 

Meski begitu, Rudy yang merupakan lulusan Universitas Krisnadwipayana Jakarta ini bertekad menjalankan amanah Presiden Jokowi bila pencalonannya disetujui DPR. "Karena ini bukan tugas yang ringan di masa pandemi. Karena presiden percaya kita harus buktikan bahwa kepercayaannya tidak salah," pungkasnya.