76 Tahun Hidup dengan KUHP yang Tak Pasti, Wamenkumham: RKUHP Urgen Disahkan Segera
Wamenkumham Edward Omar Syahrif (Foto: Kemenkuham.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Syahrif mengatakan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) penting dan mendesak untuk disahkan demi kepastian.

Apalagi, perundangan ini berlaku di pengadilan untuk menghukum pihak yang bersalah. 

"Kita hidup selama hampir 76 tahun dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti. Padahal bapak ibu tahu persis bahwa KUHP yang berlaku di ruang-ruang sidang pengadilan itu telah dipakai untuk menghukum jutaan orang, dihukum menggunakan KUHP yang tidak pasti," kata Edward dalam diskusi terkait RKUHP yang ditayangkan di YouTube Humas Ditjen AHU, Senin, 14 Juni.

Ketidakpastian ini, sambungnya, disebabkan karena UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tersebut hanya menyatakan berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan segala badan yang ada dan segala peraturan masih tetap berlaku sebelum diadakan yang baru menurut UUD.

Tak hanya itu, ketidakpastian ini juga muncul karena Indonesia menggunakan KUHP warisan Belanda yang diterjemahkan oleh Moeljatno dan Susilo yang di dalamnya terdapat perbedaan signifikan. 

Edward mencontohkan, perbedaan ini terjadi pada Pasal 110 KUHP terkait pemufakatan jahat. Di mana terjemahan Moeljatno hukuman atas perbuatan itu adalah pidana mati.

"Lalu coba buka Pasal 110 KUHP yang diterjemahkan Soesilo. Soesilo mengatakan, kejahatan pemufakatan jahat sebagaimana yang tercantum Pasal 104 sampai Pasal 108 KUHP dipidana dengan pidana maksimum 6 tahun," ungkapnya.

Tak hanya itu, perbedaan terjemahan juga terdapat dalam berbagai unsur dan elemen pasal yang dipakai. "Jadi hal-hal seperti ini, itu menimbulkan ketidakpastian hukum," tegasnya.

Lebih lanjut, Edward mengatakan pemerintah dan DPR RI saat ini melakukan rekodifikasi terhadap pasal yang sudah ada. Termasuk memasukkan kembali pasal yang sebelumnya dikeluarkan ke dalam RKUHP.

"Yang tadinya pasal-pasal itu ada dalam KUHP (yang berlaku, red), dikeluarkan dari KUHP, lalu kembali dihimpun, dikumpulkan kembali, dimasukkan kembali dalam satu rumah besar yang namanya (RUU) KUHP. Sehingga kita menggunakan istilah rekodifikasi," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut pemerintah mengupayakan penyusunan RKUHP ini berjalan demokratis dengan tetap harus segera menghasilkan keputusan.

"Keputusan (terkait RUU KUHP, red) harus segera diambil. Mau mencari resultante dari 270 juta orang di Indonesia seluruhnya tidak mungkin," kata Mahfud dalam diskusi yang sama.

Sehingga, resultante atau keputusan terkait revisi KUHP ini nantinya akan diambil melalui due process atau proses pengambilan keputusan yang konstitusional. Sebab, meski terus didiskusikan kesepakatan terkait hal-hal yang akan direvisi lama untuk dicapai.

"Percaya dengan saya, pasti apapun yang anda sepakati nanti sore ada yang enggak setuju, besok ada yang enggak setuju lagi. Lalu kapan selesainya," ujar eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.