Kominfo Ajak Masyarakat Aceh Cermati RKUHP, Bedakan dengan Hoaks
Sosialiasi RKUHP, kali ini di Banda Aceh. (Ist)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah gencar melakukan sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada seluruh elemen masyarakat. Meneruskan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik (Ditjen) IKP menggelar kegiatan “Antihoaks RUU KUHP” bekerja sama dengan Universitas Syiah Kuala Aceh.

Direktur Informasi Komunikasi Polhukam Kemenkominfo, Bambang Gunawan, dalam sambutan yang diwakili oleh Filmon Leonard Warouw, menyatakan pemerintah berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, salah satunya di bidang hukum. Pembangunan tersebut dilakukan dengan pembaharuan di hukum pidana.

“Proses (pembaharuan KUHP) ini berlangsung secara transparan dan terbuka serta melibatkan berbagai pihak seperti LSM, masyarakat umum, akademisi, dan para ahli,” jelas Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Informasi dan Komunikasi Polhukam Kemkominfo.

Informasi mengenai RKUHP penting untuk diteruskan ke masyarakat guna meluruskan berbagai hal soal hukum pidana. Terlebih, menekankan urgensi pengesahan RUU KUHP sebagai produk hukum hasil pemikiran anak bangsa.

“Sayangnya masih banyak sekali disinformasi terkait KUHP ini yang perlu diluruskan. Oleh karena itu, kita mengadakan seminar pada saat ini baik secara offline maupun online yang diikuti seluruh Indonesia,” tegasnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.

Disinformasi

Penjelasan soal disinformasi pasal-pasal krusial KUHP, dibuka oleh Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika 2007-2022, Henri Subiakto. Menurutnya, hoaks terjadi karena banyaknya disinformasi atau kurangnya pengertian informasi dari topik-topik kontroversi seperti pandemi, vaksin, IKN, UU Cipta Kerja, ITE, dan sekarang KUHP. Oleh karena itu, diperlukannya sosialisasi atau penyebaran informasi yang sesuai agar tidak terjadi hoaks. Salah satunya, soal penghinaan dan pencemaran nama baik di RKUHP.

“Konon katanya penghinaan dan pencemaran nama baik yang ada di ITE itu dihapus oleh RUU KUHP, apakah benar? Saya katakan pasal ITE tidak berlaku karena dalam dunia hukum jika ada hukum yang mengatur hal yang sama, maka hukum baru mengesampingkan hukum yang lama. Tapi bukan berarti norma itu hilang, namun dipindah di pasal 437 dalam KUHP tentang pencemaran nama baik,” katanya. Urgensi pembaruan KUHP, salah satunya dilatarbelakangi oleh kebutuhan meninggalkan produk hukum kolonial yang kurang relevan dengan keadaan saat ini. Sehingga, dibuatlah RUU KUHP berdasarkan hasil pemikiran anak bangsa dan lebih sesuai dengan keadaan Indonesia.

Tenaga Ahli Komisi III DPR RI, Afdhal Mahatta, dalam sesi selanjutnya juga menekankan keunggulan dan urgensi pengesahan RUU KUHP. “Keunggulan RUU KUHP adalah mengadopsi living law, hukum yang hidup di dalam masyarakat, pemerintah memberikan legitimasi bahwa negara Indonesia mengakui hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat baik dari Aceh sampai Papua, yang kemudian dibatasi bahwa hukum adat tidak termasuk dalam hukum yang diatur dalam KUHP dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Konstitusi, HAM dan asas-asas hukum umum,” jelasnya.

Menurutnya, RUU KUHP memang bukan merupakan produk yang sempurna, namun jauh lebih baik dari KUHP yang berlaku sekarang. Pemerintah dan Komisi III DPR RI pada sidang terakhir sudah menyetujui RUU KUHP dan dapat disahkan pada sidang paripurna di Desember 2022. Kemudian, akan disahkan akan berlaku 3 tahun sejak KUHP disahkan.

Upaya meluruskan disinformasi tentang RUU KUHP juga mencakup soal living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh, Rizanizarli, membahas tentang living law di dalam RUU KUHP, khususnya hubungan dengan hukum adat yang masih kental diterapkan di Aceh.

Menurutnya, Pasal 2 RKUHP mempertahankan hukum yang hidup di landasi pemikiran bahwa di beberapa daerah di Indonesia masih berlaku adanya hukum tidak tertulis yang hidup dan berlaku sehingga hukum di daerah yang ada dan lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

“Tapi saya sepakat, Pasal 2 RUU KUHP ini tetap dipertahankan karena membawa kebaikan yang cukup bagus bagi masyarakat adat, tapi kita harus lihat juga apakah ada pertentangan-pertentangannya,” ucapnya.

Sosialisasi “Antihoaks RUU KUHP” yang berlangsung secara hybrid ini diikuti sekitar 300 peserta daring dan luring. Harapannya, sosialisasi ini dapat mencegah disinformasi mengenai isu RUU KUHP Indonesia yang tengah menunggu disahkan. Serta mengajak masyarakat untuk dapat lebih teliti dalam mengikuti perkembangan terbaru dari RUU KUHP agar terhindar dari berita-berita hoaks yang beredar. Masyarakat juga dapat terlibat aktif mengakses RUU KUHP lewat tautan https://s.id/drafruukuhp.

Mari dukung pembahasan RKUHP sehingga menjadi KUHP asli produk hukum buatan Indonesia.