Rizieq Shihab Sebut Kasus Hukum Ajang Balas Dendam Ahok Gagal Jadi Gubernur
Rizieq Shihab di Polda Metro Jaya/VOI

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab meyakini, kasus dugaan kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan yang menjeratnya adalah aksi balas dendam yang berunsur politik. Hal ini disimpulkan setelah dirinya melalui proses panjang kasus yang menjeratnya.

Pernyataan itu disampaikan Rizieq saat membacakan nota pembelaan atau pledoi dalam persidangan kasus kerumunan di Megamendung di PN Jakarta Timur, Rabu, 20 Mei.

"Setelah saya mengikuti proses hukum yang sangat melelahkan ini, mulai dari Panggilan polisi dan penangkapan serta penahanan, hingga digelarnya persidangan sampai pembacaan pledoi," ucap Rizieq dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

"Saya semakin percaya dan yakin bahwa ini adalah kasus politik yang dibungkus dan dikemas dengan kasus hukum sehingga hukum hanya menjadi alat legalisasi dan justifikasi untuk memenuhi dendam politik oligarki terhadap saya dan kawan-kawan," sambungnya

Aksi balas dendam itu, kata Rizieq, berkaitan dengan gagalnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk kedua kalinya. Sebab, Rizieq dan kawan-kawan yang paling kencang menolak Ahok.

Rizieq mangatakan, melakukan hal itu karena Ahok telah menistakan agama Islam. Selain itu, Ahok juga dianggap sebagai sosok yang arogan dan korup, sering berucap kata kasar dan kotor.

Bahkan, Ahok dinilai sebagai kepanjangan tangan para oligarki. Nah, atas penolakan itu, Ahok gagal menjadi Gubernur DKI Jakarta yang saat itu berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat.

"Mulai saat itulah saya dan kawan-kawan menjadi target kriminalisasi, sehingga sepanjang tahun 2017 aneka ragam rekayasa kasus dialamatkan kepada kami," kata Rizieq.

 

 

Sebelumnya, Rizieq Shihab dituntut 10 bulan penjara atas perkara dugaan kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) di Megamendung. Rizeq juga didenda Rp50 juta subsider 3 bulan penjara.

Rizieq dinilai telah melanggar Pasal 93 UU nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan atau Pasal 14 ayat (1) UU nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular atau Pasal 216 ayat (1) KUHP.