JAKARTA - Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan pimpinannya ke Ombudsman karena dugaan maladministrasi. Pengaduan ini merupakan buntut dari pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan sebagai syarat alih status kepegawaian.
Usai melaporkan pimpinannya, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujarnarko mengatakan seluruh pelaksanaan TWK sarat maladministrasi. Hal ini didasari kajian 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) dalam tes tersebut.
"Hari ini saya mewakili 75 pegawai membuat pelaporan resmi terkait dengan proses TWK yang dilakukan KPK," kata Sujanarko di Gedung Ombudsman, Rabu, 19 Mei.
Ada enam dugaan perbuatan maladministrasi yang diduga telah dilakukan oleh pimpinan KPK dalam proses alih status kepegawaian tersebut. Di antaranya, terkait penerbitan Surat Keterangan tentang Hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berujung pada penonaktifan 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat hingga sesi wawancara pegawai.
"Dari kajian kita ada banyak sekali maladministrasi," tegasnya.
Sujanarko menyebut, pihaknya ingin agar proses pelaporan terhadap pimpinan KPK bisa segera diselesaikan oleh Ombudsman sehingga tidak berlarut-larut.
Lebih lanjut, dirinya juga angkat bicara mengapa 75 pegawai menolak dinonaktifkan dari pekerjaannya. Selain tak ada dasarnya, Sujanarko mengatakan ada sejumlah kerugian dengan dinonaktifkannya dia dan puluhan pegawai KPK lain, termasuk Novel Baswedan.
Pertama, dia menganggap, proses penonaktifan ini sama juga merugikan negara. Sebab, mereka tidak boleh bekerja namun tetap mendapatkan hak seperti gaji.
"Perlu juga publik tahu, dengan dibayarnya 75 pegawai tanpa boleh bekerja, itu sama saja dengan merugikan keuangan negara. Karena apa? Kami semua itu digaji dari pajak yang dibayar pemerintah," ungkap Sujanarko.
"Bayangkan nanti kalau di nonaktif sampai satu tahun, nonaktif sampai tiga bulan, berapa uang negara yang telah dirugikan oleh pimpinan," imbuh dia.
Kerugian kedua, dengan dinonaktifkan puluhan pegawai ini maka pemberantasan korupsi tidak akan maksimal. Termasuk, dalam penanganan korupsi dan hal ini tentu merugikan publik.
"Dengan dinonaktifkan 75 pegawai, maka kasus-kasus yang ditangani semuanya mandek. Jadi tidak hanya kasus, ada yang bekerja di kerjasama internasional, ada yang bekerja di biro SDM, biro hukum, semuanya mandek. Kalau tidak mandek, setidaknya terganggu dengan nonaktifnya 75 pegawai," jelasnya.
Setelah mendapat laporan terkait dugaan maladministrasi dalam Tes Wawasan Kebangsaan, Ketua Ombudsman Mokh Najih berjanji akan mendindaklanjutinya. Dia juga memastikan tindaklanjut ini akan dilakukan sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimiliki lembaganya.
"Jadi kami tentu akan mendalami sesuai prosedur dan kewenangan yang dimiliki Ombudsman. Nanti akan mengambil langkah-langkah. Yang kami pentingkan adalah bagaimana proses ini bisa diselesaikan dengan baik," ungkap Najih.
Dia berharap, masalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan mendapatkan solusi yang terbaik. Sehingga, tak ada lagi kegaduhan terkait TWK ini.
Meski begitu, dirinya belum memaparkan lebih jauh apakah pimpinan KPK akan dipanggil untuk didalami perihal maladministrasi ini. Sebab, pemeriksaannya nanti akan ditangani oleh Keasistenan Utama Bidang VI.
Sementara untuk proses pelaporan ini, dia juga belum bisa memastikan apakah bisa dilakukan dalam waktu sampai 1-2 hari ke depan. "Kami akan dalami dulu karena semua laporan ada mekanismenya dalam proses kami. Karena kami juga belum tahu detail dari isi laporan tentang pihak-pihak yang perlu kami periksa," katanya.
Sebelumnya, para pegawai ini juga telah melaporkan pimpinan mereka ke Dewan Pengawas KPK. Ada tiga alasan mengapa pengaduan ini dilakukan, salah satunya adalah tentang kejujuran.
BACA JUGA:
"Dalam berbagai sosialisasi, Pimpinan KPK mengatakan bahwa tidak ada konsekuensi daripada Tes Wawasan Kebangsaan, dan kami juga berpikir bahwa asesmen bukanlah suatu hal yang bisa meluluskan dan tidak meluluskan suatu hal," kata Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan selaku perwakilan 75 pegawai, di Jakarta, Selasa lalu.
Proses alih status menjadi ASN merupakan hak pegawai KPK yang akan menentukan masa depan, sehingga sudah sewajarnya informasi yang diberikan kepada pegawai adalah informasi yang benar. Alasan kedua adalah soal materi tes wawancara dalam TWK tersebut yang janggal.
"Yang kedua adalah kami melaporkan pimpinan kepada dewan pengawas, karena ini juga menyangkut suatu hal yang menjadi kepedulian kami terhadap anak perempuan kami, terhadap adik dan kakak perempuan kami. Kami tidak menginginkan lembaga negara digunakan untuk melakukan suatu hal yang diindikasikan bersifat pelecehan seksual dalam rangka tes wawancara seperti ini," ujarnya pula.
Alasan terakhir, kata Hotman, terkait dengan Pimpinan KPK yang sewenang-wenang dalam mengambil keputusan padahal Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa TWK tidak akan memberikan kerugian kepada pegawai.
"Bukankah keputusan MK itu merupakan suatu keputusan yang bersifat final dan mengikat, kenapa pimpinan justru tidak mengindahkan keputusan ini, bahkan mengeluarkan keputusan 652 yang sangat merugikan kami," pungkasnya.