Bagikan:

JAKARTA - Pemprov DKI memaparkan skema pembiayaan pembangunan jalur LRT rute Pulogebang-Joglo dalam rapat bersama Komisi B DRPD DKI. Pembangunannya menelan biaya Rp22,8 triliun.

Ternyata, pembangunan yang bekerja sama dengan pihak swasta yakni Pembangunan Jaya, Pemprov DKI mengeluarkan anggaran yang lebih besar.

Skema yang digunakan untuk membangun LRT Pulogebang-Joglo adalah kerja sama pemerintah daerah dengan badan usaha (KPDBU) yang diprakarsai oleh pihak swasta.

Anggota Komisi B DPRD DKI dari Fraksi PSI Eneng Malianasari mengaku heran, dimana dalam kerja sama ini, Pemprov DKI akan mengeluarkan Rp18,9 triliun (83 persen) untuk membangun prasarana. Sementara, Pembangunan Jaya hanya mengeluarkan biaya Rp3,9 triliun (17 persen) untuk pengadaan sarana. 

"Partai Solidaritas Indonesia berpendapat proyek ini tidak layak, tidak masuk akal, dan menabrak aturan," kata Eneng dalam keterangannya, Selasa, 4 Mei.

Sebab, skema KPDBU dengan swasta dilakukan karena adanya keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah dalam membangun suatu infrastruktur. Namun, ternyata Pemprov DKI menggelontorkan biaya yang lebih besar.

“Selama ini Pemprov DKI bilang kekurangan dana, sehingga pembangunan LRT Pulogebang-Joglo menggunakan skema KPDBU. Kalau benar tidak punya uang, kenapa keluarkan uang Rp 18,9 triliun? Saya minta Pemprov DKI jujur,” cecar Eneng.

 

Eneng juga menyayangkan, Pemprov DKI selama ini tidak pernah berkoordinasi dengan DPRD untuk membahas proyek LRT Pulogebang-Joglo, padahal ada beberapa kejanggalan. 

Salah satunya, anggaran Rp 18,9 triliun itu melanggar aturan terkait kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPDBU) dalam penyediaan infrastruktur, yaitu Perpres Nomor 38 Tahun 2015 dan Pergub Nomor 22 tahun 2018. 

Di dalam Perpres Nomor 38 tahun 2015 pasal 14 ayat (3) huruf c, badan usaha yang mengajukan prakarsa memiliki kemampuan keuangan yang memadai untuk membiayai pelaksanaan penyediaan infrastruktur. 

Sementara, Pergub 22 tahun 2018 pasal 50 ayat (3) huruf b menyatakan bahwa kriteria proyek KPDBU yang diprakarsai oleh badan usaha tidak memerlukan dukungan pemerintah berupa kontribusi fiskal dalam bentuk finansial.

“Jika mengikuti Perpres 38 tahun 2015 dan Pergub 22 tahun 2018, maka semua biaya investasi prasarana dan sarana harus dibiayai oleh swasta. Pemprov DKI tidak boleh mengeluarkan anggaran untuk proyek KPDBU yang diprakarsai pihak swasta (unsolicited). Jadi, bisa disimpulkan bahwa proyek LRT Pulogebang-Joglo tidak layak untuk dikerjakan,” bebernya.

Diketahui, Proyek LRT ini akan dibangun sepanjang 32,15 kilometer yang terdiri dari 26 stasiun. Proyeksi penumpang 172.500 orang per hari pada tahun 2025 dan tarif rata-rata per penumpang Rp12.343. Masa konsesi 33,5 tahun, terdiri dari periode konstruksi 3,5 tahun dan durasi operasi 30 tahun.