JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin dinilai harus mundur dari jabatannya. Sebab, namanya terseret dalam dugaan suap penghentian perkara Wali Kota Tanjungbalai yang membuat seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Stepanus Robin Pattuju jadi tersangka.
"Idealnya sih, dengan gambaran keterlibatan seperti yang dipaparkan Ketua KPK (Firli Bahuri), saya kira Azis (Azis Syamsuddin) memang mesti mundur dari jabatan pimpinan DPR," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus dalam sebuah diskusi secara daring yang dikutip Minggu, 2 Mei.
Dia menyebut, politikus Partai Golkar ini harusnya legawa untuk mundur dari jabatannya. Tapi, dia yakin hal ini tak akan dilakukannya.
Keyakinannya ini muncul dari sejumlah kasus yang menjerat para pejabat publik. Kata Lucius, jarang ada pejabat publik yang mengajukan pengunduran diri jika statusnya masih terduga melakukan penyimpangan.
"Lebih gentle, kalau keputusan mundur ini muncul dari kesadaran Azis sendiri. Tetapi ini sangat langka di Indonesia ada pejabat mundur jika sedang diduga melakukan penyimpangan," ungkapnya.
Atas alasan ini, Lucius memberikan sejumlah cara untuk Azis supaya bisa mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR RI. Pertama, melalui kebijakan dari Partai Golkar yang meminta Azis untuk mundur. Diketahui Azis merupakan Wakil Ketua Umum Partai Golkar.
Dirinya mengatakan, kasus Azis ini juga sedkit banyak akan mempengaruhi citra partai. Oleh karena itu, Partai Golkar harus segera melakukan langkah inisiatif.
"Jika ingin cepat, Partai Golkar bisa saja meminta Azis mundur. Ini agar citra Golkar tak kena imbas dari kasus yang dihadapi Azis," tegas Lucius.
Kedua, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI harus segera memproses perbuatan Azis. Lucius mengatakan, MKD DPR RI memiliki wewenang untuk meminta pimpinan parlemen untuk mundur, hal itu pernah terjadi ketika Ketua DPR RI Setya Novanto terlibat kasus korupsi.
"Oleh karena itu saya kira peluang paling mungkin untuk memastikan Azis diberhentikan dari jabatan Wakil Ketua DPR adalah melalui jalur penyelidikan etik di MKD," ujarnya.
Meski begitu, Lucius tak menampik bahwa MKD DPR RI rentan untuk dimanipulasi dan diintervensi apalagi kasus yang terjadi menyeret nama salah satu pimpinan DPR RI. Sebab, MKD DPR RI yang berisi perwakilan dari 9 fraksi berpotensi menjadikan kasus Azis sebagai transaksi politik.
BACA JUGA:
Karena itu, selain mendesak MKD memroses cepat dugaan pelanggaran etik Azis, hal yang tak kalah pentingnya adalah memastikan proses penyelidikan dan persidangan di MKD untuk kasus ini dilakukan secara terbuka.
"Sidang tertutup hanya akan menjadi ruang bagi pemufakatan jahat untuk meluluhkan sesama anggota DPR. Maka sebagaimana pada persidangan etik Novanto dahulu, MKD harus selalu melakukan rapat secara terbuka," kata Lucius.
"Yang jelas informasi soal dugaan pelanggaran Azis sudah terang benderang. Maka tak ada alasan bagi MKD untuk berlama-lama mengusut hingga memutuskan kasus Azis ini," imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan penyidiknya, Stepanus Robin Pattuju, seorang pengacara bernama Maskur Husain dan Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai.
Azis Syamsuddin berperan dalam kongkalikong di awal kasus. Azis memperkenalkan Stepanus dan M Syahrial di rumah dinasnya. Politikus Partai Golkar ini diduga mengenal Stepanus dari ajudannya yang sama-sama dari Korps Bhayangkara.
Stepanus Robin Pattuju bersama Maskur Husain diduga telah menerima suap dari M. Syahrial sebesar Rp1,3 miliar dari kesepakatan Rp1,5 miliar. Suap itu diberikan agar Stepanus membantu menghentikan penyelidikan dugaan jual beli jabatan di Tanjungbalai yang sedang diusut KPK.
Selain suap dari Syahrial, Maskur Husain juga diduga menerima uang sebesar Rp 200 juta dari pihak lain. Sedangkan Stepanus dari bulan Oktober 2020 sampai April 2021 juga diduga menerima uang dari pihak lain melalui transfer rekening bank atas nama Riefka Amalia, sebesar Rp438 juta.