Tewaskan Ratusan Pengunjuk Rasa, Barack Obama Geram dengan Rezim Militer Myanmar
Barack Obama bersama Aung San Suu Kyi. (Wikimedia Commons/East Asia and Pacific Media Hub U.S. Department of State)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama terkejut dengan kekerasan yang digunakan rezim militer Myanmar, dalam menghadapi aksi unjuk rasa warga sipil yang menentang kudeta 1 Februari. 

Barack Obama yang semasa menjabat sebagai presiden terlibat dalam mempromosikan demokrasi antara militer dan sipil di Myanmar, menyebut kekerasa yang dilakukan saat ini tidak sah dan brutal. 

Dalam pernyataannya di Twitter, Obama mendukung upaya Pemerintahan Presiden Joe Biden dan sejumlah negara untuk 'membebankan biaya' kepada para jenderal rezim militer Myanmar.

"Upaya militer yang tidak sah dan brutal untuk memaksakan kehendaknya, setelah satu dekade kebebasan yang lebih besar jelas tidak akan pernah diterima oleh rakyat, tidak boleh diterima oleh dunia yang lebih luas," kata Obama, seperti melansir Reuters, Selasa 27 April. 

"Tetangga Myanmar harus mengakui rezim pembunuh yang ditolak oleh rakyat, hanya akan membawa ketidakstabilan yang lebih besar, krisis kemanusiaan dan risiko negara gagal," tegasnya.

Barack Obama mendesak mereka yang berada di Myanmar yang mencari masa depan demokratis, untuk terus menjalin solidaritas antar kelompok etnis dan agama.

"Ini adalah masa-masa kelam, tetapi saya tersentuh oleh persatuan, ketangguhan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi yang ditunjukkan oleh begitu banyak orang Burma, yang menawarkan harapan untuk masa depan yang bisa dimiliki Myanmar melalui para pemimpin yang menghormati keinginan rakyat," paparnya.

Barack Obama mencabut embargo perdagangan dan sejumlah sanksi terhadap militer Myanmar satu dekade lalu, seiring dengan militer Myanmar mulai melakukan transisi menuju demokrasi

Ketika itu, para jenderal membebaskan pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi dan mengizinkannya mencalonkan diri, serta membuka tender energi dan telekomunikasi kepada perusahaan asing.

Untuk diketahui, data Asosiasi bantuan Tahanan Politik (AAPP) mengatakan lebih dari 750 orang telah tewas sejak kudeta rezim militer Myanmar pada 1 Februari lalu. Sementara, 3.431 orang ditahan, termasuk Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan tokoh lain.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.