KPK Berada di Ambang Batas Kepercayaan Publik Setelah Penyidiknya Memeras Wali Kota Tanjungbalai Rp1,5 Miliar
Gedung KPK (Muhammad Iqbal/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kepolisian diduga memeras Wali Kota Tanjungbalai Syahrial hingga Rp1,5 miliar. Hal ini kemudian memancing reaksi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut komisi antirasuah sudah bobrok dan berada di ambang batas kepercayaan publik.

Kabar terkait pemerasan yang dilakukan penyidik dari Korps Bhayangkara ini awalnya diungkapkan oleh Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Dia menyebut, pihaknya telah mendapatkan informasi secara lisan namun belum menerima laporan tertulis.

"Laporan resmi (terkait pemerasan, red) belum diterima tetapi informasi lisan sudah disampaikan," kata Tumpak dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu, 21 April.

Oknum penyidik berinisial AKP SR ini, dikabarkan meminta uang kepada Wali Kota Tanjungbalai untuk menghentikan kasus yang tengah diusut oleh KPK. Adapun di kota tersebut, komisi antirasuah memang tengah melakukan pengusutan dugaan suap terkait lelang jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai Tahun 2019.

Terkait tindakan salah seorang anak buahnya tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri kemudian angkat bicara. Dia mengatakan, pihaknya akan mendindak secara tegas karena KPK tak menolerir penyimpangan.

"KPK tidak akan menolerir penyimpangan dan memastikan akan menindak pelaku korupsi tanpa pandang bulu," kata Firli.

Dirinya juga menegaskan KPK terus melakukan penyelidikan terkait dugaan pemerasan ini dengan melakukan pengumpulan berbagai bukti permulaan lainnya. Selanjutnya, hasil penyelidikan akan ditindaklanjuti dengan gelar perkara segera di forum ekpose pimpinan. 

"Perkembangan lebih lanjut akan kami informasikan," tegasnya.

KPK di ambang batas kepercayaan

ICW melontarkan kritiknya kepada lembaga antirasuah pascakejadian pemerasan ini terbongkar. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, pengelolaan internal KPK saat ini sudah bobrok dan menilai kasus ini adalah puncak dari masalah internal yang sudah ada sebelumnya.

"KPK berada pada ambang batas kepercayaan publik," katanya seperti dikutip dari keterangan tertulisnya.

Lagipula, ini bukan pertama kalinya ada skandal di dalam tubuh KPK. Ada sejumlah peristiwa yang dianggap Kurnia menguatkan pernyataannya seperti pencurian barang bukti, gagal menggeledah, tak diringkusnya buronan Harun Masiku, hilangnya nama politisi dalam surat dakwaan, hingga adanya dugaan pemerasan kepala daerah.

"Isu ini juga mesti diarahkan pada kebobrokan pengelolaan internal kelembagaan oleh para komisioner," tegasnya.

Lebih lanjut, Kurnia menyebut pemerasan yang terjadi juga diakibatkan karena kebijakan baru di kepemimpinan Firli Bahuri. Di mana di era pimpinan KPK periode 2019-2023, pengumuman tersangka dilakukan saat penahanan dan hal ini dianggap menimbulkan ruang untuk bernegosiasi.

Padahal, kata Kurnia, tak ada landasan hukum yang mengharuskan KPK merahasiakan nama tersangka di tahap penyidikan. Menurut dia, kebijakan baru KPK itu justru melanggar aturan dalam Undang-Undang KPK tentang transparansi.

"Dengan melakukan hal ini secara terus menerus maka KPK telah melanggar Pasal 5 UU KPK perihal asas kepentingan umum, keterbukaan, dan akuntabilitas lembaga," ungkapnya.

"Kebiasaan baru KPK dalam menyidik perkara tanpa penetapan tersangka ini, juga semakin diperparah dengan kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK. Pemerasan yang diduga dilakukan oleh Penyidik KPK tersebut, patut diduga merujuk pada penghentian penyidikan lewat penerbitan SP3 oleh KPK," pungkas pegiat antikorupsi ini.