Bagikan:

JAKARTA - Setahun lebih setelah musim dingin dahsyat memusnahkan hampir seluruh kawanan domba miliknya, peternak hewan bernama Zandan Lkhamsuren (48) masih bertahan dengan cuaca ekstrem di negaranya, Mongolia.

Mongolia merupakan negara yang luas, menjadi salah satu yang paling parah terdampak perubahan iklim.

Menurut beberapa perhitungan, Mongolia menghangat tiga kali lebih cepat dari rata-rata negara di dunia. Hal ini berdasarkan hubungan antara kenaikan suhu dan cuaca ekstrem —mulai dari kekeringan, banjir hingga gelombang panas dan cuaca dingin.

Di Mongolia, dampaknya sangat mencolok. Cuaca dingin telah menjadi biang kematian hewan peternakan yang di Mongolia digembalakkan.

Kawanan domba di Mongolia, yang dahulu cepat berkembang biak, kini lemah dan sangat rentan mati akibat cuaca dingin ekstrem negara tersebut.

"Musim dingin tahun lalu menjadi yang paling berat saya alami," kata Zandan kepada AFP.

Zandan mengatakan ketika kawanan dombanya mati akibat musim dingin dahsyat lebih dari setahun lalu, suhu siang hari bisa mencapai minus 32 derajat Celsius (minus 25,6 derajat Fahrenheit), sementara pada malam hari minus 42C.

Suhu itu diikuti hujan salju lebat dan tanah beku, membuat domba-dombanya tidak dapat menemukan makanan. Akibatnya kawanan hewan yang terdiri dari 278 domba tewas, hanya dua yang berhasil selamat.

"Ternak kami dulu menutupi semua pengeluaran kami, dan kami dulu hidup dengan sangat baik," kata Zandan.