JAKARTA - Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR Ahmad Irawan menilai pernyataan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas yang menyebut koruptor bisa diampuni lewat denda damai tidak salah.
Asalkan, menurutnya, wacana tersebut dibarengi dengan peraturan yang jelas agar tidak menyalahi ketentuan.
“Wacana yang disampaikan oleh Menkum tidak salah karena memang normanya membuka ruang untuk penafsiran. Namun perlu perjelas dan pertegas undang-undang dengan merevisinya," ujar Ahmad Irawan, Jumat, 27 Desember.
Irawan sepakat Jaksa Agung memiliki wewenang penggunaan denda damai (schikking). Meski begitu, wewenang itu hanya untuk kasus tertentu sesuai Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
"Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Dijelaskan juga denda damai setidaknya merupakan upaya penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui Jaksa Agung. Bentuk penerapan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung itu pun hanya dalam tindak pidana perpajakan, tindak pidana kepabeanan, atau tindak pidana ekonomi lainnya berdasarkan undang-undang.
Adapun denda damai ini masuk dalam kategori keadilan restoratif (restorative justice) atau untuk bidang ekonomi dikenal dengan istilah fiscal recovery yang merupakan upaya untuk memulihkan kerugian perekonomian negara.
“Denda damai (schikking) jelas dan terang tercantum sebagai wewenang Jaksa Agung. Tapi ada postulat dalam membaca teks undang-undang yang bunyinya primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis,” jelas Irawan.
Irawan menerangkan, maksud postulat itu adalah perkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum. Pertanyaan lanjutan dari amanat Pasal 35 ayat 1 huruf k tersebut adalah apa saja yang masuk dalam ruang lingkup tindak pidana ekonomi.
“Apakah penggunaan denda damai dalam tindak pidana ekonomi dapat dilakukan juga untuk tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara?” terangnya.
“Sedangkan inti delik dari perbuatan korupsi ialah perbuatan yang merugikan perekonomian negara,” imbuh Legislator Dapil Jawa Timur itu.
Anggota Komisi III DPR itu mengatakan, tindak pidana yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penalaran yang wajar tidak hanya pajak dan kepabeanan. Irawan lantas menyinggung soal kasus Harvey Moeis yang praktik usahanya dianggap sebagai bentuk merugikan negara sehingga dianggap bentuk korupsi.
BACA JUGA:
“Mengenai Korupsi juga merugikan perekonomian negara seperti katakanlah kasus Harvey Moeis. Itu kan kasus yang merugikan perekonomian negara. Begitu juga tindak pidana seperti tindak pidana lingkungan hidup, kehutanan, perikanan dan kelautan, perdagangan, migas, pertambangan, dan lain-lain,” katanya.
Karena itu, Irawan menilai penting agar pemerintah dan DPR menyesuaikan undang-undang tindak pidana korupsi dengan perkembangan dan arah politik hukum yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto. Di mana lebih menitikberatkan pada pemulihan asset dan kerugian (asset/fiscal recovery).
“Begitu juga mengenai upaya denda damai ini, tindak pidana ekonomi dan kerugian perekonomian negara. Kita harus memperjelas dan memperinci kewenangan Jaksa Agung baik itu berdasarkan prinsip dominus litis dan/atau prinsip opportunitas tadi, termasuk denda damai tadi yang bisa dieksekusi langsung oleh Jaksa Agung (semi-judge),” tegas Irawan.
“Dengan demikian, menurut saya sebagai Anggota Baleg DPR RI wacana yang disampaikan oleh Menkum tidak salah karena memang normanya membuka ruang untuk penafsiran. Undang-undangnya saja perlu diperjelas dan dipertegas dengan salah satunya upaya revisi,” pungkasnya.