Bagikan:

JAKARTA - Ada yang unik dari tradisi Ramadan di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA). Salah satu kota terkaya di dunia ini memiliki tradisi untuk menandai datangnya Bulan Suci Ramadan dan waktu berbuka dengan menembakkan meriam. 

Ya, bukan sembarang meriam, karean meriam yang dipakai sejenis dengan meriam artileri medan dan bersejarah. Beratnya mencapai dua ton per unit. Ledakan meriam saat matahari terbenam, familiar dengan masyarakat Dubai.

Pertama kali ditembakkan untuk menandai awal bulan suci, meriam tersebut kemudian digunakan setiap hari untuk mengumumkan waktunya Salat Maghrib yang berarti juga waktu buka puasa.

Total ada enam meriam yang ditempatkan di sekitar emirat selama bulan suci. Meriam-meriam ini ditempatkan di Burj Khalifa, Atlantis The Palm, Masjid Al Salam di Al Barsha, Pantai Al Mamzar, Masjid Al Habbai di Al Khawaneej dan mushola di Al Mankhool.

Polisi Nasional mengikuti petugas Polisi Dubai saat mereka mengangkut artileri dari Jalan Al Wasl ke Burj Khalifa.

"Kami mengangkut meriam dengan bantuan mobil patroli polisi," kata Mayor Abdullah Tarish dari Departemen Umum Keamanan dan Darurat Perlindungan, melansir The National News.

"Kami menempuh tiga jam sebelum waktu buka puasa dengan kecepatan 70 kilometer per jam. Meriam itu beratnya sekitar dua ton, jadi kita harus pastikan sampai di tempat yang ditentukan dengan selamat," lanjutnya.

meriam dubai
Penembakan meriam di Sheikh Zayed Grand Mosque. (Sumber: The National News)

Beberapa sejarawan mengatakan kebiasaan itu dimulai pada abad ke-10 Mesir, untuk memberi tahu orang-orang bahwa inilah saatnya untuk mengakhiri puasa mereka.

"Di Dubai, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1960-an. Saat itu belum ada sistem pengeras suara di masjid untuk mengumumkan buka puasa. Orang-orang menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Tembakan meriam adalah sinyal utama bagi orang-orang untuk mengakhiri puasa mereka," ungkap Mayor Tarish.

Meriam itu diproduksi di Inggris pada 1940-an dan memiliki jangkauan suara 160 desibel, yang dapat didengar hingga 10 km jauhnya. Warga diminta menjaga jarak setidaknya 30 meter dari meriam, karena suara yang memekakkan telinga.

Menurut protokol, empat petugas mengoperasikan masing-masing meriam. Dua dari mereka berbaris menuju meriam, satu orang bersiaga di depan rumah laras dan yang lainnya memuatnya. Dua petugas tetap di belakang sebagai penjaga meriam dan memberi perintah. Saat berbuka puasa, petugas meneriakkan perintah dan meriam ditembakkan.

Dua tembakan dilepaskan untuk menandai dimulainya Ramadan dan sekali setiap hari untuk mengumumkan buka puasa. Dua ledakan menandai dimulainya Idul Fitri, menandai akhir Ramadhan. Dua tembakan kemudian ditembakkan lagi sebelum dimulainya shalat di hari Idul Fitri.

"Meriam ini sangat berharga bagi kami. Mereka berusia sekitar 80 tahun dan pernah digunakan dalam perang sebelumnya. Kami sekarang menggunakannya sebagai tanda perdamaian dan toleransi," tukas Mayor Tarish.

Tahun ini, masyarakat tidak diizinkan untuk menyaksikan penembakan secara langsung, seiring dengan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19. Sebagai gantinya, televisi lokal menyiarkan langsung penembakan ini.

"Kami berharap semua orang dapat menonton acara tersebut dan belajar tentang budaya dan sejarah Arab yang kaya. Kami berharap generasi tua bisa bercerita tentang penembakan meriam dari tahun 1960-an hingga generasi sekarang," pungkas Mayor Tarish.