Bagikan:

JAKARTA - Ibu kota Georgia, Tbilisi, gemuruh dengan gemeretak kembang api hingga larut malam selama sepekan terakhir. Letusan kembang api menjadi simbol protes besar pro-Uni Eropa yang dianggap menjerumuskan negara Kaukasus Selatan ke dalam krisis.

Ketika polisi antihuru-hara menggunakan meriam air, gas air mata, dan penangkapan massal untuk memadamkan protes, para demonstran membalasnya dengan kembang api.

Mereka melemparkannya ke arah polisi dan gedung parlemen tempat ribuan pengunjuk rasa berkumpul setiap malam.

Pemerintah Georgia pekan lalu mengatakan pihaknya membekukan perundingan mengenai aksesi ke Uni Eropa hingga tahun 2028, sehingga secara tiba-tiba menghentikan tujuan nasional yang telah lama ada dan memicu kemarahan di antara banyak warga Georgia yang pro-Eropa.

Alexandre, seorang pelajar berusia 21 tahun yang melakukan demonstrasi hampir setiap malam, mengatakan penggunaan kembang api yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa merupakan bentuk pembelaan diri terhadap tindakan keras yang telah menyebabkan lebih dari 300 orang ditahan.

“Kembang api adalah satu-satunya hal yang harus kami pertahankan dari polisi, karena polisi menggunakan kekerasan terhadap kami,” katanya dilansir Reuters, Jumat, 6 Desember.

Setiap malam, kota ini menyaksikan sekelompok kecil pengunjuk rasa dengan wajah tertutup meluncurkan kembang api ke arah petugas polisi antihuru-hara lapis baja.

Seringkali, konflik ini berkembang menjadi kebuntuan yang berkepanjangan, dengan pengunjuk rasa melemparkan kembang api ke gedung parlemen, sementara petugas merespons dengan menyemprotkan air dingin.

Dalam salah satu tayangan yang disiarkan oleh saluran televisi Georgia pekan lalu, seorang pengunjuk rasa menembakkan kembang api ke arah petugas dari apa yang tampaknya merupakan peluncur rakitan.

Kementerian dalam negeri mengatakan sejumlah petugasnya terluka dalam demonstrasi tersebut.

Pemerintah Georgia mengambil tindakan untuk melarang penjualan kembang api.