Bagikan:

JAKARTA - Hampir setengah abad terakhir, Presiden Republik Arab Suriah Bashar al-Assad menghadapi upaya penggulingan dari berbagai kelompok pemberontak bersenjata, termasuk Al Qaeda.

Dalam kurun waktu tersebut, Abu Mohammed al-Golani hanya menjabat komandan cabang sayap Al Qaeda bernama Front Nusra yang tidak menonjol, bahkan tak pernah dianggap sorotan utama di depan publik.

Namun kini, nama al-Golani, 42, menjadi salah satu pusat perhatian utama di Suriah. 

Sedikitnya 4 kendaraan sipil jadi target drone militer pasukan Suriah Minggu, 20 Oktober. (X @SyriaCivilDef)Caption

Sejak memutuskan hubungan dengan Al Qaeda pada 2016, al-Golani mampu mengubah citra kelompok pemberontak yang dipimpinnya hingga menguasai kota terbesar di Suriah, memanaskan kembali perang saudara yang awet di negara itu, dan memunculkan pertanyaan baru tentang sejauh mana kekuasaan Presiden Bashar al-Assad saat ini?

Sorotan itu terlihat jelas saat kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham atau HTS yang dipimpin al-Golani merebut kekuasaan kota terbesar di Suriah, Aleppo pada pekan lalu.

Saat HTS memasuki Aleppo, al-Golani tampak mengenakan seragam militer sembari memberikan perintah melindungi warga sipil dan melarang anak buahnya memasuki rumah warga sipil. 

Al-Golani tampak sangat jelas sedang mengirimkan pesan pencitraan untuk meyakinkan warga yang telah lama takut pada jihadis.

Pada Rabu 4 Desember 2024, al-Golani menyambangi Benteng Aleppo, ditemani seorang pemberontak yang mengibarkan bendera revolusi Suriah, simbol yang dulunya dianggap murtad bagi Al Qaeda kini dianut al-Golani demi menarik simpati oposisi Suriah.

Dalam kesempatan itu juga, al-Golani mengirimkan pesan kepada warga penganut Kristen di selatan Aleppo bahwa kelompoknya tidak akan mengusik harta benda penduduk. Al-Golani juga meminta mereka untuk tetap tinggal di rumah dan menolak "perang psikologis" pemerintah Suriah.

"Golani lebih pintar daripada Assad. Dia telah mengubah taktik, dia telah mengubah penampilan, mendapatkan sekutu baru, dan tampil dengan pesonanya yang ofensif" terhadap kaum minoritas," ujar pakar geopolitik Suriah dan Kepala Pusat Studi Timur Tengah di Universitas Oklahoma Amerika Serikat (AS), Joshua Landis, dikutip dari Reuters.

Peneliti di lembaga think-tank Century International, Aron Lun, mengatakan al-Golani dan HTS telah bertransormasi atau berubah. Namun, dia yakin kelompok pemberontak itu tetap garis keras. 

"Itu hanya pencitraan, tetapi fakta bahwa upaya tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak lagi sekaku dulu. Al Qaeda lama atau ISIS tidak akan pernah melakukan itu," katanya.

Awal Al-Golani dengan Al Qaeda

Hubungan al-Golani dengan Al Qaeda dimulai sejak tahun 2003, ketika ia bergabung dengan kelompok ekstremis itu memerangi pasukan AS di Irak. 

Al-Golani lantas tercatat ditahan beberapa kali oleh militer AS, namun tetap di Irak.

Selama kurun waktu itu juga, Al Qaeda merebut kelompok-kelompok militan beridelogi serupa kemudian membentuk Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi.

Pada tahun 2011 terjadi pemberontakan sipil terhadap Presiden Assad di Suriah memicu tindakan keras dari pemerintah sehingga memicu perang saudara habis-habisan. 

Kemampuan yang dimiliki al-Golani membuat al-Baghdadi mengirimnya ke Suriah kala itu. Al-Golani diperintah untuk mendirikan Front Nusra yang menjadi cabang resmi Al Qaeda di Suriah. 

Serangan bom di Al-Qusour, Kota Idlib, Suriah, menewaskan 9 warga sipil, termasuk 3 anak-anak dan 1 wanita, Minggu, 1 Desember. (X @SyriaCivilDef)

Ketika eskalasi perang saudara di Suriah memanas pada 2013, ambisi al-Golani ikut meningkat. Ia menentang upaya sepihak al-Baghdadi untuk menggabungkan Front Nusra dengan operasi Al Qaeda di Irak dalam pembentukan ISIS.

Antara al-Golani dan sekutu lamanya al-Baghdadi lantas berperang. ISIS kemudian dikalahkan di Suriah dan Irak oleh kelompok berseberangan, termasuk koalisi militer sejumlah negara pimpinan AS.

Meski Front Nusra ikut ambil bagian melawan ISIS, AS tetap melabeli al-Golani teroris. AS beranggapan Front Nusra berencana menggulingkan pemerintahan Assad, mengadopsi negara syariah Islam di Suriah, dan dalang sejumlah serangan bunuh diri.

Dalam wawancara pertamanya pada 2014, al-Golani sembari menutup wajahnya mengatakan kepada Al-Jazeera akan hal itu. Ia menegaskan tujuan kelompoknya di Suriah untuk membentuk negara berdasarkan hukum Islam dan menegaskan tidak ada ruang bagi kaum minoritas Alawi, Syiah, Druze, dan Kristen di negara itu.

Ia juga menolak perundingan politik di Jenewa untuk mengakhiri konflik di Suriah. 

Kelompok yang dipimpin al-Golani kemudian berganti nama menjadi Jabhat Fateh al-Sham dan memutuskan hubungannya dengan Al Qaeda pada pertengah tahun 2016.

Saat ISIS benar-benar runtuh, al-Golani menegaskan kendali penuh atas kelompok-kelompok militan yang terpecah. Setahun kemudian, aliansinya Jabhat Fateh al-Sham berganti nama lagi menjadi HTS diikuti bergabungnya sejumlah kelompok ekstrimis yang terpecah.

Namun, upaya penggabungan itu berujung bentrok lantaran ditentang kelompok militan Islam independen lainnya. Kondisi tersebut justru menguatkan posisi HTS sebagai kelompok militan yang memerintah dengan tangan besi di Suriah barat laut.

Seorang wanita dievakuasi petugas penyelamat setelah serangan udara militer Pemerintah Suriah yang sedang memerangi pemberontak HTS menghancurkan permukiman sipil. (X @SyriaCivilDef)

Perubahan Sosok

Dengan kekuatannya yang terkonsolidasi, al-Golani bertransformasi. Ia mengganti seragam militernya dengan kemeja, celana panjang, dan mulai menyerukan toleransi beragama dan pluralisme. 

Al-Golani mendekati komunitas Druze di Idlib, yang sebelumnya menjadi sasaran Front Nusra, dan mengunjungi keluarga-keluarga Kurdi yang dibunuh oleh milisi yang didukung Turki.

Pada tahun 2021, al-Golani melakukan wawancara pertamanya dengan seorang jurnalis AS dari Public Broadcasting Service.

Mengenakan blazer, dengan rambut pendeknya digel ke belakang, pemimpin HTS yang kini lebih pendiam itu menegaskan, kelompoknya tidak pernah ingin menjadi ancaman bagi Barat dan label teroris yang dijatuhkan terhadapnya tidak adil.

“Ya, kami telah mengkritik kebijakan Barat,” kata al-Golani, dikutip dari France24.

“Tetapi untuk melancarkan perang melawan Amerika Serikat atau Eropa dari Suriah, itu tidak benar. Kami tidak mengatakan bahwa kami ingin berperang,” sambungnya.