Bagikan:

JAKARTA - Mantan Wakil Kepala Polisi Republik Indonesia (Wakapolri), Komjen. Pol. (Purn.) Oegroseno menekankan agar pemerintah melakukan penelitian mendalam terhadap revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menurutnya, pembuatan undang-undang harus disesuaikan dengan kebutuhan kepolisian di masa yang akan datang.

“Harus ada studi dulu, jangan membuat undang-undang asal undang-undang. Kira-kira yang dibutuhkan polisi ke depan bagaimana?” ujar Oegroseno dalam podcast EdShareOn bersama host Eddy Wijaya, yang tayang pada Rabu, 23 Oktober 2024.

Revisi UU tentang Polri tengah bergulir di DPR RI. Beleid yang merupakan inisiatif DPR RI mengatur sejumlah isu strategis. Misalnya pada pasal 14 tentang pengawasan, pengamanan ruang siber, dan penyadapan. Ada pula pasal 16 tentang penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber.

Pasal-pasal inilah yang menjadi polemik di masyarakat karena dianggap menjadikan Polri sebagai “lembaga superbody”, atau memiliki kewenangan sangat besar tapi minim pengawasan. Bahkan dituduh bakal memberangus kebebasan berekspresi dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun pembahasan RUU ini ditunda hingga DPR periode 20242029 berjalan efektif.

Oegroseno menyatakan untuk menghindari penyalahgunaan, penyadapan dalam RUU tersebut perlu diatur secara ketat. “Siapa sih di Indonesia yang paling berhak menyadap? Semua orang sekarang bisa menyadap. Jangankan aparat, pengusaha IT (Information and Technology) saja bisa. Itulah yang harus diatur ke depan,” kata Oegroseno.

Kendati demikian, pria kelahiran 17 Februari 1956 itu sepakat bila penyadapan dan pengawasan ruang siber diatur dalam peraturan khusus misalnya dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan menteri, bahkan peraturan presiden. “Penyadapan ditata, jangan sampai penyadapan itu liar. Mau itu (penyadapan) di KP (Kementerian Pertahanan), mau itu BIN, mau BAIS, mau itu Polri, aturan penyadapan satu titik, dan orang-orang (yang menjalankan aturan) bisa dipercaya dan gajinya tinggi,” ucapnya.

Eddy Wijaya bertemu dengan Komjen. Pol. (Purn) Oegroseno. (Dok Eddy Wijaya)
Eddy Wijaya bertemu dengan Komjen. Pol. (Purn) Oegroseno. (Dok Eddy Wijaya)

Harus Ada Ganti Rugi bagi 8 Terpidana Kasus Vina Cirebon

Kepada Eddy Wijaya, Oegroseno mendesak pemerintah memberikan ganti rugi kepada 8 terpidana kasus Vina Cirebon. Desakan itu tak lepas dari bukti kuat 8 terpidana adalah korban salah tangkap polisi. “Mudah-mudahan pemerintah dengar, kalau ada korban salah proses kemudian dihukum (ganti ruginya) Rp 100 miliar lah,” katanya.

Pernyataan Oegro tersebut berdasarkan Pasal 77 dan Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai korban salah tangkap polisi. Kendati dalam aturan, ganti rugi paling banyak Rp100 juta. “Kalau dia punya Rp 100 miliar terus diinvestasikan di tambang batu bara atau nikel hidupnya sudah bisa terjamin,” ucap mantan Kapolda Sumatera Utara tersebut.

Kasus Vina Dewi atau Vina Cirebon bermula dari kematiannya beserta sang kekasih Muhammad Rizky atau Eky di sebuah jembatan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat pada 2016 lalu. Sebanyak 11 orang menjadi terpidana dalam kasus ini, namun mereka kini mengajukan Peninjauan Kembali (PK) karena mengaku bukan pelaku. Polisi juga menetapkan Pegi alias Perong sebagai tersangka baru, tapi sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Bandung pada 8 Juli 2024 menyatakan Pegi tidak terbukti terlibat.

Oegroseno menyatakan kasus ini cacat sejak awal karena penyidik tidak bisa membuktikan keterlibatan para pelaku. Polisi hanya mengantongi keterangan saksi yang tidak didukung bukti lainnya dalam kasus tersebut. “Barang bukti juga tidak mengarah pada peristiwa pembunuhan,” kata dia.

Apalagi, Oegroseno melanjutkan, terdapat keterlibatan Iptu Rudiana yang merupakan ayah korban Eky dalam penyelidikan di awal kasus. Kematian putranya tersebut, kata Oegroseno, bisa menjadi motif Rudiana melakukan tindakan yang di luar nalar seorang anggota polisi.

“Ini penyimpangan profesi cukup berat, tapi yang saya heran seorang Iptu Rudiana bisa menguasai kepolisian khususnya di Polresta (Cirebon), ada apa sebenarnya?,” ucapnya. “Jadi seorang Iptu jangan sampai dikasih kewenangan bisa mengendalikan seluruh Polri. Gak bisa, belum perwira, belum penyidik. Propam yang bisa membuktikan itu (Kasus Vina Cirebon),” kata dia menambahkan.

Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini Profilnya

Sosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa. Gagasan-gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”. (ADV)