Bagikan:

JAKARTA - Polri dan pihak terkait diminta untuk waspada dengan pelaku teroris yang beraksi sendirian atau lone wolf. Apalagi, paham radikalisme dan segala kegiatan yang berkaitan dengan terorisme bisa dilihat melalui sejumlah aplikasi media sosial seperti Telegram maupun Facebook.

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel mengingatkan aparat terhadap potensi berkembangnya aksi teror sendirian atau lone wolf, dipicu dari serangan di Markas Besar Polri, beberapa waktu lalu.

"Relevansinya adalah kemungkinan bermunculannya lone wolf-lone wolf baru yang boleh jadi muncul secara masif, karena mereka tidak membutuhkan jaringan, tak perlu bertemu dengan siapapun, kemudian jadi pelaku-pelaku teror yang baru," kata Reza dalam diskusi virtual, Minggu, 4 April.

Selain itu, lone wolf atau para pelaku teror yang tak terafiliasi dengan kelompok tertentu bisa muncul karena kondisi teror saat ini berbeda dengan yang dulu. Dulu, sambung Reza, orang akan menjadi pelaku teror jika ada sosok yang mencuci otak mereka. Biasanya, mereka berkegiatan secara intensif dan terselubung.

Namun, hal ini berubah sejak media sosial berkembang dan segala informasi ada di dalamnya. Setiap, kata dia, orang sangat berpotensi menjadi pembelajar mandiri, termasuk belajar dari pelaku teror secara virtual.

"Misalnya, ada orang-orang memanfaatkan informasi di media sosial dan meradikalkan isi kepala mereka sendiri," ungkap Reza.

"Begitu isi kepala mereka berhasil diradikalisasi, maka si calon pelaku melakukan pembaiatan terhadap dirinya sendiri. Dia angkat sumpah melakukan operasi yang dia yakini sebagai sebuah kebenaran," lanjutnya.

Kata Reza, di dunia psikologi ada istilah gangguan kecemasan akibat media sosial. Istilah ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh peranti teknologi. Doktrinisasi ideologi seperti pelaku teror bisa dimulai dari penerimaan informasi yang memuat isu radikalisme.

"Jaringan tidak harus mengenal satu sama lain, tapi ada proses transmisi nilai, distribusi informasi secara masif berlangsung lewat media virtual," ucap dia.

Media sosial yang paling banyak digunakan

Sementara dalam acara yang berbeda, mantan narapidana tindak pidana terorisme, Haris Amir Falah, mengatakan era digitalisasi saat ini juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk merekrut anggota. Dia menyampaikan, media sosial yang sering digunakan oleh kelompok-kelompok teroris untuk merekrut anggota yaitu Facebook dan Telegram. 

"Ada beberapa media sosial yang menjadi alat mereka lakukan secara masif, misalnya di Telegram atau juga di media sosial lainnya di Facebook saya rasa juga digunakan. Jadi tanpa bertemu, seseorang bisa menjadi seorang pengantin," kata Haris dalam diskusi daring yang ditayangkan di YouTube pada Sabtu, 3 April.

Lewat media sosial ini kelompok teroris kemudian mulai berkomunikasi dengan calon anggota dan melakukan pembinaan. Haris juga menyebut, sistem baiat saat ini tidak perlu bertemu muka tapi bisa hanya melalui media sosial saja.

"Mereka bisa dikamar sendirian kemudian berbaiat, kemudian sudah terikat dengan program itu," ungkapnya.

Tak cukup di situ, lewat media sosial para pembina akan melakukan doktrin kepada calon anggota. Selanjutnya, muncul pelaku terorisme yang mengorbankan nyawa mereka dan mengatasnamakan suatu agama. "Itulah yang disayangkan. Orang-orang dibikin berani mati, tapi mereka (para pembina) hanya berani hidup," tegasnya.

Selama sepekan ini ada dua aksi teror yang terjadi dalam waktu berdekatan. Teror pertama adalah pengeboman di depan Gereja Katedral Makassar yang terjadi pada Minggu, 28 Maret ketika umat katolik merayakan Minggu Palma.

Teror bom Makassar diketahui dilakukan oleh  pasangan suami istri yang terafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Sementara aksi kedua terjadi di Mabes Polri pada Rabu, 31 Maret lalu. pelaku penyerangan di Mabes Polri merupakan seorang perempuan berinisial AS dan berusia 25 tahun. Dia bergerak sendiri atau lone wolf dan terafiliasi dengan ISIS.