Rangkaian Kejadian di Katedral Makassar dan Mabes Polri, Peran Perempuan dalam Aksi Teror Tak Boleh Dianggap Remeh
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Dua peristiwa teror yang baru-baru ini terjadi, pada gereja katedral di Makassar dan Markas Besar Polri, Jakarta Selatan membuka tabir bahwa peran perempuan dalam aksi terorisme saat ini tak bisa dikesampingkan.

Rabu, 31 Maret, Mabes Polri dibobol perempuan bersenjata api. Empat hari sebelumnya, sepasang suami-istri jadi pengantin bom bunuh diri, menyerang Gereja Katedral Makassar. Meski bukan hal baru, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme kembali disoroti.

ZA, perempuan 25 tahun, sendirian masuk ke kompleks Mabes Polri lewat pintu belakang. Berjalan kaki, ia merapat ke pos di gerbang utama. ZA sempat menanyakan keberadaan kantor pos. Ia berkilah ingin mengantar surat. ZA meningggalkan pos itu. Sejenak, sebelum kembali lagi dan menyerang polisi di pos. Merespons, polisi menembak mati ZA.

Dari kasus ini, mantan narapidana tindak pidana terorisme, Haris Amir Falah menyebut terdapat pergeseran dalam pergerakan kelompok teror. 

Salah satunya, adalah kelompok tersebut kini lebih menyasar perempuan untuk dipersiapkan sebagai pelaku. Hal ini diakibatkan karena perempuan lebih militan dalam melakukan aksinya dibanding laki-laki.

"Sekarang itu trennya adalah wanita. Bahkan dari temuan saya di lapangan itu, justru wanita itu lebih miltan daripada laki-laki," kata Haris dalam diskusi virtual pada Sabtu, 3 April.

Tren ini berbeda jauh dengan pergerakan kelompok teroris pada tahun sebelumnya. Pada 2010 lalu, mereka tidak pernah melibatkan perempuan dan anak-anak dalam aksi penyerangan.

Kondisi ini justru berbalik saat ini. Menurut Haris, sekarang banyak perempuan yang justru mengajak suaminya untuk bergabung dalam aksi-aksi teror.

"Banyak yang suaminya ikut, bukan karena suaminya yang ngajak istrinya tapi justru istrinya yang ngajak suaminya," ungkapnya.

Melanjutkan, Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto terdapat lasan banyaknya perempuan yang direkrut menjadi pelaku terorisme. Alasan utama yakni kekosongan tenaga pria teroris karena meninggal dunia dan ditangkap aparat yang berwenang.

"Ya, perempuan ini jadi sentral setelah banyak tewasnya pendukung ISIS yang khususnya pria. Kemudian, karena banyaknya kekosongan tenaga pria maka wanita direkrut untuk itu," ujar Wawan.

Lebih lanjut, dia mengatakan, perempuan juga dipilih karena dianggap memiliki rasa emosional dan militan ketimbang laki-laki. Keterlibatan ini juga didasari atas peniruan yang selama dilakukan oleh kelompok teroris perempuan.

Sehingga, saat ini aksi bom yang dilakukan perempuan menunjukkan tren meningkat. Bahkan, kata dia, sudah banyak perempuan yang mengajak para laki-laki atau kelompok lain untuk melalukan aksi tersebut.

"Termasuk juga di kasus bom panci. Yang punya daya ledak menggelegar. Ini efek peniruannya pergerakannya dan tren meningkat. Bahkan disebut wanita yang mengajak sekarang ini. Ada seperti itu," jelasnya.