Bagikan:

JAKARTA - Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Ratna Susianawati menyebut, perempuan memang lebih rentan terjerumus radikalisme dan terorisme.

Hal ini disampaikan menanggapi teror yang terjadi sepekan belakangan. Dari dua lokasi di Makassar dan Mabes Polri misalnya, pelaku diketahui perempuan. 

"Perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme," kata Ratna dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 3 April.

Pengetahuan yang minim juga kerap membuat perempuan menjadi sasaran para penyebar paham dan ideologi yang menyimpang.

Penyebabnya, mereka mengalami keterbatasan akses informasi serta dibatasi dalam menyampaikan pandangan dan sikapnya hingga akhirnya mereka dimanfaatkan dalam tindak terorisme.

"Disinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya,” jelas Ratna.

Dia menilai, ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga.

Apalagi, saat ini kemajuan teknologi sudah begitu pesat sehingga banyak kejahatan modus baru, termasuk dalam menyebarkan paham radikalisme dan terorisme.

"Orangtua harus bisa menjalin hubungan baik dengan anak, mengawasi dan mengontrol anak, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami, menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan, dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan,” ungkapnya.

Menambahkan pernyataan Ratna, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Akhmad Nurwakhid menyebut perempuan yang lebih sensitif, peka, emosi labil, dan memiliki sikap taat pada suami cenderung membuat mereka lebih mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan teroris laki-laki dalam melakukan aksinya. 

Sehingga, semua pihak wajib terlibat untuk memperbaiki paham dan ideologi yang menyimpang. Ajakan ini juga ditujukan khususnya kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat yang bisa sangat mempengaruhi masyarakat.

"Setiap orang berpotensi memiliki pemahaman radikal. Di sinilah pentingnya ajaran dalam bentuk narasi dari tokoh masyarakat dan tokoh agama yang mengandung budi pekerti, pembangunan karakter, serta nilai-nilai positif,supaya masyarakat kebal terhadap ancaman pemahaman radikal,” tegasnya.

Akhmad juga menegaskan aksi radikal dan terorisme jangan selalu dianggap lekat dengan agama tertentu.

"Segala bentuk terorisme yang mengatasnamakan agama, sejatinya adalah manipulator agama dan tidak terkait dengan agama apapun. Ini menjadi musuh kita bersama, kita harus bersatu untuk menanggulanginya,” tutupnya.