JAKARTA - Jaksa penunut umum (JPU) menyoroti penggunaan kata pandir dan dungu dalam nota keberatan atau eksepsi terdakwa Rizieq Shihab dalam perkara dugan penghasutan dan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) di Petamburan.
Jaksa berpendapat, dua diksi itu hanya digunakan oleh orang-orang yang tidak terdidik.
"Bahasa-bahasa seperti ini digunakan oleh orang-orang yang tidak terdidik dan dikategorikan kualifikasi berpikiran dangkal," ucap jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa, 30 Maret.
Alasan jaksa, kata dungu dan pandir dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti yang kurang baik. Sehingga, tidak seharusnya terdakwa yang memiliki riwayat pendidikan tinggi dan mengaku sebagai imam besar menggunakan kata-kata tersebut. Terlebih kata-kata itu ditujukan kepada jaksa.
"Mengingat kata 'pandir' menurut buku kamus bahasa Indonesia halaman 804 yang artinya 'bodoh'. Sedangkan kata 'dungu' menurut kamus bahasa Indonesia tersebut, pada halaman 306, diartikan sangat 'tumpul otaknya, tidak mengerti, bodoh," kata jaksa.
"Tidaklah seharusnya kata-kata yang tidak terdidik ini diucapkan, apalagi ditabalkan kepada jaksa penuntut umum. Sangatlah naif kalau jaksa penuntut umum yang menyidangkan perkara terdakwa dan kawan-kawan dikatakan orang bodoh, bebal, tumpul otaknya, tidak mengerti," sambung jaksa.
BACA JUGA:
Padahal, tim jaksa penunut umum merupakan orang-orang yang berpendidikan. Bahkan, untuk berposisi sebagai jaksa minimal harus memiliki gelar strata 2 atau S2. Terlebih, harus memiliki pengalaman di bidangnya.
"Untuk itu, sebagai pelajaran, jangan mudah menjustifikasi orang lain, apalagi meremehkan sesama. Sifat demikian menunjukkan akhlak dan moral yang tidak baik," tandas jaksa.