Bagikan:

JAKARTA - Kunjungan Presiden Terpilih Prabowo Subianto ke Australia dan Papua Nugini belum lama ini dinilai efektif dalam meyakinkan negara-negara Pasifik terkait komitmen Indonesia terhadap perdamaian dan pembangunan di Papua.

Dalam kunjungan tersebut, Prabowo, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, didampingi oleh Wakil Ketua Harian DPP Gerindra sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sugiono, serta tokoh pejuang HAM asal Papua, Natalius Pigai.

Pertemuan dengan Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, berlangsung di Canberra pada 20 Agustus, diikuti pertemuan dengan Perdana Menteri Papua Nugini, James Marape, di Port Moresby sehari kemudian.

Pengamat politik luar negeri, DR. Teguh Santosa, menilai kehadiran Natalius Pigai dalam kunjungan tersebut memiliki makna simbolis dan substansial.

"Keikutsertaan Bung Natalius Pigai dalam kunjungan Presiden Terpilih Prabowo Subianto ke Australia dan Papua Nugini memperlihatkan komitmen kuat pemerintahan baru untuk menciptakan perdamaian dan pembangunan di Papua," ujar Teguh di Jakarta, Rabu, 4 September.

Reputasi Natalius Pigai sebagai mantan anggota Komnas HAM RI periode 2012-2017 dan pejuang HAM yang diakui dunia, menurut Teguh, sangat penting dalam upaya Indonesia menjaga situasi kondusif di Papua sambil memacu progres pembangunan di wilayah tersebut.

"Saya berharap pemerintahan baru nanti dapat meyakinkan pihak-pihak yang meragukan komitmen Indonesia terhadap Papua. Presiden Prabowo perlu memberikan peran lebih signifikan untuk Bung Natalius dan Mas Sugiono dalam pemerintahan baru," tambahnya.

Sejumlah negara Pasifik, yang tergabung dalam organisasi Melanesian Spearhead Group (MSG), sering memanfaatkan isu Papua di forum internasional.

Organisasi yang didirikan pada 1998 di Vanuatu ini mencakup anggota seperti Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Front Pembebasan Nasional Sosialis Kanak di Kaledonia Baru. Indonesia telah menjadi Observer MSG sejak 2011 dan Associate Member sejak 2015.

Dalam pertemuan MSG di Vanuatu pada Agustus tahun lalu, Indonesia walk out setelah panitia mengundang tokoh separatis Papua, Benny Wenda, untuk berbicara. Teguh menegaskan bahwa dunia internasional, khususnya kawasan Pasifik, perlu melihat persoalan Papua dengan lebih jernih.

"Prinsip peaceful coexistence yang dihasilkan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1950-an seharusnya memperkuat solidaritas global, terutama di belahan Selatan," tutup Teguh, mantan Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK)