Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur Utama PT Sentosa Laju Energy, Tan Paulin sebagai saksi pada hari ini, Kamis, 29 Agustus. Dia dimintai keterangan terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat eks Bupati Kutai Kertanegara Rita Widyasari.

“Hari ini KPK menjadwalkan pemeriksaan saksi dugaan tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian yang dengan tersangka RW,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardika kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 29 Agustus.

Tessa bilang TP alias PT diperiksa di Jawa Timur. Dia belum memerinci hadir tidaknya saksi tersebut dan materi yang didalami penyidik.

“Pemeriksaan di kantor BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Timur atas nama TP alias PT selaku wiraswasta atau Direktur Utama PT Sentosa Laju Energy,” ujarnya.

Adapun nama Paulin Tan ini sempat muncul dalam dugaan konsorsium tambang yang menyeret jenderal polisi beberapa waktu lalu. Kasus ini menyeruak karena diungkap oleh anggota Polres Samarinda, Ismail Bolong.

Belakangan Ismail Bolong membantah telah memberikan sejumlah uang kepada jenderal polisi tersebut. Ismail malah mengungkap bahwa dirinya sempat bekerjasama dengan Tan Paulin yang disebutnya sebagai ratu batubara.

Dilansir dari sejumlah pemberitaan, Tan Paulin juga sempat disinggung dalam rapat kerja Komisi VII DPR RI oleh eks Menteri ESDM Arifin Tasrif, pada 14 Januari 2022. Ketika itu, dia diduga melakukan praktik permainan penjualan batu bara secara tidak jujur.

Kuasa hukum Tan Paulin, Yudistira kemudian menegaskan perusahaan tambangnya telah secara benar dan legal setelah mendengar tudingan ini. Klaimnya, aturan pemerintah sudah diikuti.

Diberitakan sebelumnya, Rita Widyasari ditetapkan sebagai tersangka bersama Komisaris PT Media Bangun Bersama, Khairudin pada 16 Januari 2018. Keduanya diduga mencuci uang dari hasil gratifikasi proyek dan perizinan di Pemprov Kutai Kertanegara senilai Rp436 miliar.

Rita saat ini menjadi penghuni Lapas Perempuan Pondok Bambu, Jakarta Timur karena terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp110,7 miliar dan suap hingga Rp6 miliar dari para pemohon izin dan rekanan proyek. Ia harus menjalani hukuman 10 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta pada 6 Juli 2018.